Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Penulis

22 September 2022   17:00 Diperbarui: 22 September 2022   17:06 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku telah berusaha sebaik mungkin, mencoba membuat sesuatu yang akan bertahan sampai ada orang---seseorang---membacanya. Aku telah menunjukkannya kepada pengajar di akademi non akreditasi. Dia telah banyak membantuku, meskipun setiap kali aku harus mengingatkannya siapa aku.

"Oh, kamu," jawabnya, membuang muka. "Ya, aku ingat sekarang."

Pada awalnya, ketika aku menunjukkan apa yang kupunya kepadanya, kata-kata itu akan hilang dari halaman sebelum dia bisa membacanya, seolah-olah aku menulis dengan tinta yang bisa menghilang. Tetapi bersama-sama kami akhirnya berhasil menciptakan gaya yang---sebagian besar milik---tetap bertahan di halaman.

Dulu aku mencari nafkah dengan cara yang layak di sesuatu gedung, meskipun aku harus mengingatkan bosku untuk membayar karena namaku verkali-kali terlewatkan saat gajian. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Sekarang aku mencari nafkah dengan tampil di televisi. Kamu mungkin pernah melihatku sebelumnya, tetapi percuma aku memberi tahu kamu siapa namaku, karena kamu tidak akan mengingatnya. Tidak ada yang pernah mengingatnya, bahkan pembawa acara program televisi tempat aku tampil.

Satu-satunya kualitas fisikku yang luar biasa adalah bahwa aku biasa-biasa saja. Tinggiku rata-rata, dengan rambut cokelat dan mata cokelat. Kulitku pucat, meski tidak sepucat mayat. Mata, hidung, mulut, dan tulang pipiku semua ditempatkan di tempat yang seharusnya. Aku tidak tampan, tapi aku juga tidak jelek. Jika aku adalah hidangan, aku adalah bubur ayam kaki lima. Aku mengatakan ini tanpa kepahitan. Aku menerima ini sebagai porsiku dalam kehidupan.

Baru-baru ini, dalam perjalanan ke toko obat beberapa blok dari gedung apartemen, aku melihat seorang perempuan tua berambut putih berdiri di depan kotak surat di depan rumahnya. Saat aku sampai di depan rumahnya, dia melepas kacamatanya yang dilekatkan pada tali manik-manik dan menggantung di lehernya. Dia mengerucutkan bibirnya dan menempelkan tangannya yang keriput ke alisnya yang berkerut, kecewa.

Hal yang selalu terjadi.

"Maaf," kataku.

Dia menatapku dengan mata hijau pupusnya. Tangannya, masih di alisnya, gemetar.

"Kamu siapa?" dia bertanya dengan suara seperti pasir pantai mengikis batu karang.

Aku menyerahkan kartu namaku padanya. Dia menempelkan kacamata ke matanya dan membaca. Dia mencoba berbicara, tetapi yang muncul hanyalah suara serak. Dia mengacungkan jarinya, mengisyaratkanku untuk menunggu. Setelah serangkaian batuk berdahak, dia berkata, "Kamu seharusnya malu pada dirimu sendiri."

"Maaf," kataku sekali lagi dan mulai berjalan pergi. Ada sedikit yang bisa diperoleh dari upaya seseorang untuk menjelaskan sesuatu yang tidak dipahaminya sendiri.

"Aku akan menelepon polisi," katanya. "Aku tahu siapa kamu sekarang. Aku punya kartumu."

Aku berbalik dan mengangguk. "Itu akan baik-baik saja, Bu," kataku. "Mereka bisa menghubungi saya di nomor yang ada di kartu. Semoga harimu menyenangkan."

Beberapa minggu kemudian, aku menerima telepon. Pada awalnya, yang aku dengar hanyalah suara berderak. Aku pikir karena koneksi jaringan yang buruk. Kemudian aku mendengar suaranya dan menyadari bahwa suara yang kudengar berasal dari perempuan tua itu.

"Aku memintamu menyelidiki," katanya.

"Ya Bu. Apakah Anda ingin alamat saya?" tanyaku.

Ada jeda. Aku bisa mendengar napasnya.

"Bagaimana kalau kamu datang saja ke sini?" katanya.

Ketika dia membukakan pintu, dia berkata, "Aku harap kamu tidak menjual apa pun, karena aku tidak punya uang."

Aku mengatakan kepadanya siapa aku.

"Oh," katanya, membuka kunci pintu kasa, "Aku tidak mengenalimu. Kamu terlihat berbeda dari yang aku ingat."

Rumah itu bersih, penuh dengan perabotan antik yang dipernis gelap, meja-mejanya dilindungi dengan apa yang tampak seperti serbet. Udara berbau seperti kayu purba.

"Mau teh?" dia bertanya setelah aku duduk.

Aku tidak suka teh, tetapi aku menerimanya karena aku pikir dia mungkin menyukainya jika aku menerima tawarannya.

"Aku cuma punya Sariwangi," katanya. "Ada di lemari di atas kompor. Kamu harus membuatnya sendiri. Kakiku terlalu sakit."

Dia duduk dan meletakkan kakinya di atas sandaran kaki yang dilindungi oleh bahan berenda yang sama yang menutupi meja. Dia mengenakan sepatu ortopedi yang sangat mengkilap.

"Teko ada di atas kompor. Buatkan aku secangkir juga," katanya, menutup matanya dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursinya.

Aku pergi ke dapur, menemukan teh dan memanaskan panci.

Saat kembali, aku meletakkan tehnya di atas meja di samping kursinya. Dia sepertinya tidak menyadarinya. Matanya masih tertutup.

Aku pikir dia mungkin tertidur. Duduk di sofa di sisi lain ruangan, aku menyesap teh dan mengawasinya, lalu menghabiskan tehku dan mengambil cangkir dan piring kembali ke dapur.

"Kamu khawatir, bukan?" tanyanya saat aku kembali. Cangkir dan piring di pangkuannya.

"Ya, Bu," kataku.

"Aku bisa menahan napas selama lebih dari satu menit," katanya.

"Bagus sekali, Bu," kataku. "Itu lebih baik daripada yang bisa saya lakukan."

Hari itu aku menjual semua yang kumiliki dan pindah tinggal bersamanya. Aku memijat kakinya yang lelah, dan dia meletakkan tangannya di pipiku dan memanggilku 'sayang'. Dia memakai liontin dengan fotoku di dalamnya, untuk mencegahnya lupa, tapi terkadang dia tetap saja amnesia.

"Aku akan ingat jika aku tidak terlalu tua," katanya kepadaku.

Tapi aku tahu lebih baik.

 

Bandung, 21 September 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun