Aku menyerahkan kartu namaku padanya. Dia menempelkan kacamata ke matanya dan membaca. Dia mencoba berbicara, tetapi yang muncul hanyalah suara serak. Dia mengacungkan jarinya, mengisyaratkanku untuk menunggu. Setelah serangkaian batuk berdahak, dia berkata, "Kamu seharusnya malu pada dirimu sendiri."
"Maaf," kataku sekali lagi dan mulai berjalan pergi. Ada sedikit yang bisa diperoleh dari upaya seseorang untuk menjelaskan sesuatu yang tidak dipahaminya sendiri.
"Aku akan menelepon polisi," katanya. "Aku tahu siapa kamu sekarang. Aku punya kartumu."
Aku berbalik dan mengangguk. "Itu akan baik-baik saja, Bu," kataku. "Mereka bisa menghubungi saya di nomor yang ada di kartu. Semoga harimu menyenangkan."
Beberapa minggu kemudian, aku menerima telepon. Pada awalnya, yang aku dengar hanyalah suara berderak. Aku pikir karena koneksi jaringan yang buruk. Kemudian aku mendengar suaranya dan menyadari bahwa suara yang kudengar berasal dari perempuan tua itu.
"Aku memintamu menyelidiki," katanya.
"Ya Bu. Apakah Anda ingin alamat saya?" tanyaku.
Ada jeda. Aku bisa mendengar napasnya.
"Bagaimana kalau kamu datang saja ke sini?" katanya.
Ketika dia membukakan pintu, dia berkata, "Aku harap kamu tidak menjual apa pun, karena aku tidak punya uang."
Aku mengatakan kepadanya siapa aku.