Perlahan-lahan kesadaran kembali, otot-ototnya yang pegal dan luka berdarah di sisi lidahnya, rasanya bagai ditindih ribuan batu bata.
Dua kali kejang hingga pingsan dalam tiga hari tidak bagus. Tidak bagus sama sekali...Â
Dia harus berpikir serius tentang ini, dan memutuskan apa yang akan dia lakukan. Kebingungan dan kantuk mencoba membawanya kembali hilang kesadaran, tetapi Awang melawannya, dan terhuyung-huyung keluar dari celah yang dalam.
Sekujur tubuhnya terasa sakit seperti dipukul berulang kali dengan tongkat kayu, tetapi dia berjuang sampai akhirnya menggapai tepi jalan dan mobilnya sebelum dia pingsan lagi. Darah dan debu memenuhi mulutnya.
Dia mencoba untuk fokus pada apa yang baru saja terjadi saat dia menyalakan Mecedes Benz-nya dengan kikuk.
Tiga puluh kilometer untuk kembali ke kota bukanlah hal mudah, dan dia akan terkejut jika berhasil pulang dengan selamat. Tapi dia tidak bisa tinggal di sini. Dia harus kembali ke rumah. Kenapa dia jauh-jauh ke sini lagi? Pasti ada alasannya. Pikiran ini, dan rasa amis yang berputar-putar di mulutnya membangkitkan kesadarannya saat dia perlahan-lahan merayap pulang.
Tidur... di rumah aku bisa tidur...Â
Hampir satu jam berkonsentrasi yang dipaksakan, dia memasukkan mobil ke dalam garasi rumahnya. Proton Kancil tak ada. Kuntum pasti ada di suatu tempat...
***
Saat kembali ke rumah keluarga Dermawan, Bagas melihat mobil biru di dalam garasi dan berharap Dr. Awang ada di rumah. Mengetuk pintu, dia mendengar langkah kaki mendekat dengan cepat dan suara menggeram yang mengiringinya.
Awang, masih berlumuran tanah dengan darah kering yang lengket dari mulutnya ke dagunya, membuka pintu dan melihat Bagas berdiri di sana, hendak menagih uang langganan surat kabar.