Kita terpisah beribu-ribu kilometer, bukan?
Namun saat hujan turun mengetuk atap rumah di larut malam, aku terbangun. Aku ingat canda lembutmu, suara mojang sunda yang menghantamku seperti bisikan angin di leher. Aku ingat mata kekanak-kanakan yang menahanku jauh di malam untuk sementara waktu sampai kenyataan muncul membawa nestapa.
Aku memikirkan ibuku yang menatap langit-langit seolah dia mungkin menemukan jawabannya di sana. Aku memikirkan saudara perempuanku yang mengalami koma. Cantrik anggun dalam tidur yang tidak tersentuh, seperti boneka yang terlupakan di dalam lemari.
Hujan kini semakin deras dan badai mulai datang, berputar-putar, bergerak cepat seperti irama jantungku.
Pada akhirnya, aku hanya seorang gadis yang tersesat dalam kegelapan yang berpegang teguh pada harapan dan satu pernyataan cinta sampai diriku memudar menjadi mimpi indah tanpa warna yang mungkin ada atau mungkin tidak akan menjadi nyata.
Bandung, 20 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H