Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 24)

20 September 2022   08:00 Diperbarui: 20 September 2022   07:58 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Di utara alun-alun berdiri sebuah panggung yang di hadapan warga desa yang berkumpul, berdiri seorang pria memakai topeng merah. Pria yang pernah mengirim anak panahnya terbang lurus ke arah Keti tapi dengan sengaja meleset. Pria yang sama yang telah mengirim sekelompok begundal bayaran untuk mengejarnya. Pria  yang ingin dikirimkan ke Neraka Asipatravana.

Berjuang untuk mengeluarkan suaranya, Keti menyentakkan jari telunjuknya ke arah alun-alun. Janar mengikuti arah telunjuk Keti dan menyipitkan matanya agar dapat melihat jarak jauh dengan lebih teliti. Dia melihat seorang pria berdiri dengan penuh percaya diri di atas panggung. Pria itu berdiri tegak dan di depan orang banyak dengan tangan di belakang punggungnya. Satu lambaian tangan dari pria itu membuat kerumunan yang berisik menjadi diam, hening tanpa suara lagi.

Bahkan dari tempat dia bersembunyi, Janar bisa merasakan aura pembunuh yang menakutkan yang terpancar dari pria bertopeng itu.

Keti akhirnya berhasil menjawab dengan suara parau, "Itu dia. Dia pembunuh yang mengincar kita semua."

Pria bertopeng itu menarik napas dalam-dalam, menahannya lama, lalu menghembuskan perlahan. Saat dia berbicara, suaranya menggelegar seperti guntur menyalak di alun-alun desa. "Warga Tudung Tenuk. Saya menyampaikan pesan kepada Anda semua atas nama Yang Mulia Baginda Raja Amerta Rudrawarman Wikrama. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda semua. Bahwa Anda keluar dari rumah, berhenti melakukan pekerjaan dan berkumpul di sini, menunjukkan bahwa Anda semua sangat mencintai dan menjunjung tinggi Baginda Raja. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas kerjasamanya."

Penduduk desa diam menyaksikan dan mendengarkan dengan penuh perhatian dengan tatapan mereka tertuju pada pria bertopeng itu. Beberapa dari mereka bahkan tidak menyadari bahwa sedang menahan napas. Perhatian penuh tak tergoyahkan tertuju pada pria bertopeng itu, kecuali anak-anak yang matanya jelalatan mencari tanda-tanda kehadiran Raja.

Pria bertopeng itu melanjutkan. "Saya yakin, banyak dari Anda di sini untuk melihat Baginda Raja, dan saya meyakinkan Anda bahwa Anda pasti akan melihat Raja, meskipun itu nanti di Nirwana."

Dengung menggumam pecah di atas kerumunan orang-orang saat mereka berbisik dan bertukar pandang kebingungan.

"Sungguh, Baginda Raja sangat peduli pada Anda semua, dan dia akan senang melihat wajah Anda jika dia memiliki kesempatan. Namun bagaimanapun juga, dia adalah Raja Diraja Sriwijaya dan memiliki urusan yang lebih penting, juga masalah-masalah lain untuk diperhatikan. Itulah sebabnya saya di sini. Saya, Pedang Raja, hadir di sini untuk mengungkapkan betapa Baginda menghargai Anda atas kepatuhan dan kerja sama Anda. Anda benar-benar teladan dan patut ditiru seluruh warga dan abdi kerajaan. Hari ini, Anda akan dikenang sebagai legenda. Pengorbanan penduduk desa ini akan diceritakan dalam dongeng untuk anak cucu dan keturunannya yang akan datang".

Penduduk desa melongo menatap bengong, benar-benar bingung dan kacau. Tak menghiraukan kurangnya pemahaman di wajah penduduk desa, pria bertopeng itu melanjutkan, "Yang saya katakan adalah Anda dan anak-anak, suami atau istri, orang tua, teman, dan keluarga Anda akan mati di sini dan sekarang."

Penduduk desa mulai resah, melihat sekeliling dengan khawatir dan ketakutan ketika para prajurit menghunus pedang mereka, bersiap untuk menjatuhkan jika ada yang melawan dan memberontak. "Saya yakin banyak dari Anda telah mendengar tentang penyakit menular yang telah menjangkiti wilayah kerajaan kita. Saya sadar bahwa pemduduk desa ini belum tertular, tetapi bagaimanapun, Anda memiliki peran kecil untuk dimainkan untuk memastikan keberadaan Kerajaan di masa depan. Puja-pujilah para dewa yang mendengar permohonan kita dan memberi kita jalan keluar dari penderitaan ini. Mereka telah berbisik ke telinga Baginda Raja dan anggota dewan penasihat. Pengorbanan yang diperlukan harus dilakukan. Hidup Anda sebagai ganti umur panjang kerajaan."

Bisik-bisik dari kerumunan meledak menjadi kegemparan, tetapi suara pria bertopeng itu menggelegar mengatasi kebisingan. "Untuk menyelamatkan keseluruhan, Anda harus mengorbankan yang kecil! Lihat diri Anda sebagai bagian tubuh yang sakit. Untuk menyelamatkan tubuh itu, Anda harus memotongnya. Meskipun, Anda belum sakit, tapi jika dibiarkan maka akan. Anda melakukannya untuk masa depan kerajaan dan rakyatnya. Dan ketika Anda mati, Anda akan naik ke Nirwana langsung ke haribaan Sang Hyang Wisnu! Makan dan minum di sisi para dewa!"

Pria bertopeng itu merentangkan tangannya bagai burung alap-alap membentangkan sayap, "Apakah kalian tidak merasa bahagia?" Suaranya tiba-tiba berubah muram, "Kalian tidak punya hak untuk menolak keputusan Baginda dan para dewa. Ucapkan selamat tinggal kepada orang yang Anda cintai," katanya lalu mengangguk kepada para prajurit.

Satu per satu, para prajurit menyampaikan pesan secara berantai ke yang berikutnya. Mereka mulai membakar gubuk-gubuk dan bangunan pasar, dan maju perlahan mengepung penduduk desa yang mengelompok, menyusut merapat terdesak dari ujung tombak dan pedang yang tajam mematikan.

"Kegilaan ini tidak bisa dibiarkan," gumam Keti. Dia berdiri tiba-tiba dan mencabut anak panah lalu menarik tali busurnya, mengarah lurus ke pria bertopeng itu.

"Keti, tunggu! Kita harus memberi tahu yang lain," Janar mencoba menghentikannya, tetapi dia sekejap terlambat karena Keti telah melepaskan anak panah. Beberapa prajurit melihat panah terbang mendesing, tetapi mereka hanya bisa terkejut dan terpana, berdiri bengong tanpa mampu berbuat apa-apa.

Pria bertopeng itu terlambat melihat kedatangan anak panah. Keti tersenyum. Tepat pada sasaran, pikirnya girang.

Pria bertopeng itu tidak berusaha menghindari panah karena sudah terlambat. Anak panah itu menghunjam dada kirinya.

Senyum kemenangan Keti langsung lenyap berganti tatapan kaget. Rahang Janar ternganga, matanya menatap tak percaya saat melihat anak panah terpental dari dada si pembunuh.

Pria bertopeng itu mengibaskan dadanya tanpa terpengaruh dan dari balik topengnya, sebuah senyuman muncul di wajahnya saat dia memandang lurus ke depan, ke arah Keti.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun