Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 23)

19 September 2022   08:00 Diperbarui: 19 September 2022   07:59 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Tabib itu mengangguk dengan sedih, "Ya, kenyataan seringkali memang menjadi kisah yang menyedihkan. Seharusnya Sri Rama tidak pernah meragukan kesetiaan Dewi Shinta dengan demikian namanya tetap akan dikenang sebagai raja agung Asoka yang merebut istrinya yang cantik jelita dan setia dari raja gandarwa Rahwana. Tapi kita tidak pernah tahu rahasia kehendak para dewata. Tentu saja mereka tidak bisa mengatakan kebenaran yang mengerikan kepada anak-anak, maka diubah agar tidak menakutkan bagi anak-anak. Hanya saja, jika kebenaran selalu disembunyikan dengan alasan untuk melindungi anak cuku, mungkin seloka kisah Ramayana akan dilupakan sebelum turunan ketujuh atau malah dalam beberapa dasawarsa saja."

Ubai mengguma tak jelas tapi menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

Ganbatar mengepalkan tinjunya menumbuk tanah. "Cukup sudah dengan dongeng-dongeng sedih. Kalau menurutku, sebaiknya kita menyusul Janar dan Keti ke desa dan langsung menghajar pasukan kerajaan yang ada di sana sebelum mereka membuat masalah."

Palupi menggelengkan kepalanya. "Sabar, Badan Besar. Keti dan Janar akan segera kembali."

"Kalau begitu, setidaknya hibur aku dengan sedilit latih tanding yang ringan saja sambil kita menunggu."

Palupi menyeringai. "Kalu itu aku setuju. Tanganku sudah gatal karena lama tak memegang hulu pedang. Mari kita lihat apakah sedikit pemanasan bisa membuat gatal hilangnya," katanya sambil menghunus pedangnya dan memasang kuda-kuda.

Bibir Ganbatar menyeringai lebar, dan ia memutar-mutar kedua kapaknya. "Aku akan mencoba bersikap lembut, Lupi," katanya, dan melancarkan serangan dengan tenaga penuh.

***

Di desa Tudung Tenuk, Keti dan Janar begerak dengan hati-hati, menyelinap dari pohon-pohon yang tumbuh meninggi di desa. Gubuk-gubuk kecil, pasar yang menawarkan segala macam barang, dan terakhir penduduk desa yang hiruk pikuk berlari pontang-panting saat mereka berkumpul di alun-alun layaknya kawanan lebah di sekitar sarangnya.

Janar menghentikan seorang bocah laki-laki dan menanyainya, "Apa yang terjadi? Mengapa semua orang berkumpul?"

Wajah bocah itu berseri-seri dan tersenyum riang. "Menurut kabar, Raja sendiri akan memberkati desa kita dengan kehadirannya. Terpujilah para dewa!"

Bocah itu berlari meninggalkan Janar dan keti yang saling menatap bingung. Janar menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Apa yang akan dilakukan Baginda Raja di sini? Dengan wabah yang menyebar cepat, aku pikir dia melindungi dirinya sendiri di balik tembok istana yang aman dari segala marabahaya."

Keti merenung sambil berpikir. "Aku juga sependapat denganmu. Tidak mungkin Raja meninggalkan istna yang dijaga ketat oleh para pengawal khusus. Bagaimana jika ini semua adalah jebakan? Bagaimana jika ini adalah tipuan untuk membuat penduduk desa berada di satu tempat sementara para penjaga melakukan pekerjaan mereka membersihkan desa berikut penduduknya? Lebih mudah untuk menjinakkan mereka seperti itu daripada mencoba mengendalikan kerumunan yang mengamuk."

Janar merenungkan kata-katanya, "Kamu benar. Mari kita mengawasi dari tempat yang aman, tidak terlalu jauh dari keramaian. Kita mungkin harus segera memberitahu yang lain."

Mereka menyelinap dengan hati-hati melewati penjaga yang ditempatkan di sekitar kerumunan. Tampak pedang dan tombak para prajurit terhunus untuk mencegah penduduk desa pergi.

Di luar lingkaran, diam-diam beberapa prajurit bersembunyi dengan kayu yang menyala dengan api di tangan.  Tampak mereka menunggu aba-aba dengan sabar untuk melakukan tugas mereka.

Janar dan Keti memanjat ke atap gubuk yang berada lima belas tombak dari alun-alun desa yang bising. Mereka berbaring di atap, menyipitkan mata dan menajamkan telinga untuk melihat dan mendengar apa yang terjadi di depan mereka.

Mata Keti terbelalak dan mulutnya ternganga lebar dan dia menepuk pundak Janar berulang kali. Tampaknya dia berjuang untuk berbicara, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Janar menatapnya dengan bingung karena sikap Keti yang aneh. "Ada apa? Bicaralah. Apa yang terjadi?"

Keti tetap tak mampu berkata-kata, hanya jari telunjuknya teracung mengarah pada kerumunan di alun-alun.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun