Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 23)

19 September 2022   08:00 Diperbarui: 19 September 2022   07:59 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Wajah bocah itu berseri-seri dan tersenyum riang. "Menurut kabar, Raja sendiri akan memberkati desa kita dengan kehadirannya. Terpujilah para dewa!"

Bocah itu berlari meninggalkan Janar dan keti yang saling menatap bingung. Janar menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Apa yang akan dilakukan Baginda Raja di sini? Dengan wabah yang menyebar cepat, aku pikir dia melindungi dirinya sendiri di balik tembok istana yang aman dari segala marabahaya."

Keti merenung sambil berpikir. "Aku juga sependapat denganmu. Tidak mungkin Raja meninggalkan istna yang dijaga ketat oleh para pengawal khusus. Bagaimana jika ini semua adalah jebakan? Bagaimana jika ini adalah tipuan untuk membuat penduduk desa berada di satu tempat sementara para penjaga melakukan pekerjaan mereka membersihkan desa berikut penduduknya? Lebih mudah untuk menjinakkan mereka seperti itu daripada mencoba mengendalikan kerumunan yang mengamuk."

Janar merenungkan kata-katanya, "Kamu benar. Mari kita mengawasi dari tempat yang aman, tidak terlalu jauh dari keramaian. Kita mungkin harus segera memberitahu yang lain."

Mereka menyelinap dengan hati-hati melewati penjaga yang ditempatkan di sekitar kerumunan. Tampak pedang dan tombak para prajurit terhunus untuk mencegah penduduk desa pergi.

Di luar lingkaran, diam-diam beberapa prajurit bersembunyi dengan kayu yang menyala dengan api di tangan.  Tampak mereka menunggu aba-aba dengan sabar untuk melakukan tugas mereka.

Janar dan Keti memanjat ke atap gubuk yang berada lima belas tombak dari alun-alun desa yang bising. Mereka berbaring di atap, menyipitkan mata dan menajamkan telinga untuk melihat dan mendengar apa yang terjadi di depan mereka.

Mata Keti terbelalak dan mulutnya ternganga lebar dan dia menepuk pundak Janar berulang kali. Tampaknya dia berjuang untuk berbicara, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Janar menatapnya dengan bingung karena sikap Keti yang aneh. "Ada apa? Bicaralah. Apa yang terjadi?"

Keti tetap tak mampu berkata-kata, hanya jari telunjuknya teracung mengarah pada kerumunan di alun-alun.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun