Itu dia. Bahkan dia tidak memperhatikan bagaimana caraku menatapnya. Dia tidak memperhatikan sorot mataku, dia tidak melihat bahwa dia memiliki hati dan jiwaku, dia tidak tahu betapa aku membutuhkannya.
Itu salah, aku tahu. Tapi aku tidak bisa tidak mencintainya. Aku mencoba untuk menjauh. Aku mencoba mengingat dia bukan milikku. Aku mencoba. Aku berusaha sangat keras.
Kadang aku tergelincir.
Tetapi hanya ketika aku mabuk, yang sering, karena aku sangat mencintainya.
Aku mencintainya. Bagaimana mungkin tidak?
Dia benar-benar pemandangan yang enak dilihat, lelaki itu.
Tapi aku hanyalah rahasia busuk, ketika dia terlalu banyak minum. Ketika pekerjaannya menjadi sulit. Dan ketika dia hanya membutuhkan seseorang selain istrinya. Dia datang mencari kenyamanan yang hanya aku bisa berikan.
Tapi kemudian dia pergi lagi.
Jam dinding menunjukkan pukul dua pagi. Empat jam. Selama empat jam dia milikku.
Dan sekarang dia akan kembali padanya. Cintanya. Belahan jiwanya. Yang tidak harus menjadi rahasia kecilnya yang busuk. Siapa pun akan mengatakan pada dunia bahwa dia miliknya.Â
Siapa pun bisa memberi tahu dunia bahwa dia miliknya. Bahwa dunia tahu dia memiliki hatinya. Bahkan jika aku memiliki tubuhnya selama berjam-jam pada suatu waktu.
Aku bangun dan melihat ke dalam lemariku. Pistol yang dia berikan padaku ada di sana. Untuk perlindungan, katanya. Dia punya banyak musuh.
Pil yang diberikan dokter padaku ada di sana. Untuk mengatasi depresiku. Kecemasanku. Kejang-kejangku.
Semua ada di sana.
Aku muak menjadi rahasia kecil busuk seseorang. Aku melihat pistol dan pil-pil. Â Lalu aku merosot ke lantai dan mendesah.
Aku tidak tahu berapa lama di sana. Namun tiba-tiba aku mendengar pintuku terbuka.
Hanya dia yang bisa masuk ke apartemenku. Aku menunggu, tapi tidak ada yang datang. Aku mendengar pintu kamar mandi dibuka. Dia berdiri di sana, di atasku. Dia memegang pistol. Aku menatapnya.
"Kamu tidak bisa menjadi rahasia kecil busukku lagi."
Dia mengarahkan pistol ke dadaku dan menembak dua kali.
Saat aku berbaring di sana, rasa sakit dari peluru di dada membuatku terengah-engah.
Terdengar suara tembakan lagi. Dia telah mengarahkan pistol ke dahinya sendiri dan menembak.
Aku berjuang untuk bangun dan menuju ke telepon. Menghubungi nomor layanan darurat.
"Dia bunuh diri...."
Menghembuskan napas panjang , dan kemudian duniaku menjadi gelap.
Aku bukan lagi rahasia busuknya.
Bandung, 18 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H