Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Bab 20)

16 September 2022   07:52 Diperbarui: 16 September 2022   07:54 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Keti manis, aku tidak pernah bilang bahwa aku tertarik padamu. Aku hanya bilang bahwa kamu cantik, itu saja,"kata Janar sambil tersenyum nakal. "Mengapa pipimu menjadi semerah jambu air? Kamu malu? Nah, sekarang tanganku gemetar dan napasmu terengah-engah saking malunya."

Lalu pria itu pura-pura terkesiap dan menepuk-nepuk dadanya. "Duhai Dewa Kamajaya! Jangan bilang kalau kamu sebenarnya jatuh cinta padaku, Suketi!"

"Tunggu, aku tidak ... aku tidak pernah mengatakan...," Keti tergagap bingung.

"Jelas sudah mengapa kamu selalu memandangku. Caramu menatapku selama ini dan menjadi baik hati padaku tiba-tiba. Oh, Keti yang manis bagai gula nira, ketahuilah bahwa aku berterima kasih atas cinta mu padaku, meskipun aku memiliki begitu banyak perempuan yang meminangku di luar rimba sana, tetapi aku akan selalu mengingatmu," canda Janar.

"Tunggu! Apa? Kamulah yang diam-diam mencuri pandang melirikku!" Gadis itu menggelengkan wajahnya yang masih msemarah udah sungai rebus. "Ini bukan tentang aku, kita sedang membicarakanmu. Kamu tersenyum pada---"

"Keti, Keti. Tidak apa-apa untuk malu karena tertangkap basah memandangiku dan malu pula mengakui perasaanmu padaku. Aku mengerti, untuk gadis tangguh sepertimu sungguh sulit untuk mengungkapkan gejolak rasa di dada. Namun dengan rona warna pipimu saja, kamu telah memberi tahuku bagaimana perasaanmu kepadaku. Tidak apa-apa, Tenangkan dirimu, tarik napas dalam-dalam. Aku berjanji untuk tidak memberi tahu siapa pun. Sejujurnya, aku akan memberimu kesempatan untuk mendapatkanku. Di antara pesaing, kamu ada di peringkat tiga besar," kata Janar dengan satu tangan memegang tali kekang dan satunya lagi mengelus dagu. "Ini sama sekali bukan salahmu. Aku dikaruniai daya pesona yang memikat banyak wanita. Aku tahu kamu sudah menyukaiku sejak kita pertama kali bertemu di tepi sungai itu. Saat itu kamu marah-marah supaya mendapat perhatian dariku dan sejak saat itu berlagak jual mahal jinak-jinak burung balam agar gantian aku yang mengejarmu. Hmmm ... aku mengerti sekarang. Awalnya hanya kekaguman biasa yang kemudian berkembang menjadi cinta setelah aku menyelamatkanmu dari pria-pria jahat itu. Itu menjelaskan semuanya dan cocok dengan sikapmu yang tiba-tiba kepadaku," kata Janar mengangguk sambil memegang dagunya yang tidak berjanggut, tidak memberi kesempatan kepada Keti untuk menyela.

"Bagaimana ... tunggu! Apa?" Keti menggelengkan kepalanya kebingungan.

"Senang akhirnya kamu mengakui perasaanmu padaku, Keti. Tapi kita harus benar-benar memusatkan pikiran dan perhatian kita pada tugas kita di sini."

Keti membuka mulut hendak membantah, tetapi jari telunjuk Janar berada di bibir tanda menyuruhnya tutup mulut. "Lihat, kita sudah mendekat gerbang masuk desa. Dua pengawal berjaga di depan. Jaga dirimu baik-baik".

Janar turun dari kudanya. Dia menyerahkan tali kekang kepada Keti dan menunjukkan senyum terlebar yang bisa dihasilkan bibirnya. Senyum yang justru membuat para penjaga waspada dan mengubah sikap berdiri menjadi tegak siaga, menatap dengan hati-hati pada pria asing yang mendekati mereka.

Kedua prajurit itu menyilangkan tombak mereka dan memelototinya dengan tatapan yang pantas untuk menakut-nakuti bocah. "Apa urusan kisanak di sini? Desa ini terlalrang untuk dimasuki. Tidak ada yang masuk atau keluar atas titah Baginda Amerta Rudrawarman Wikrama."

"Selamat siang, prajurit yang mulia. Semoga para dewa memberkati dan memberi kesehatan luar dalam dan juga kekuatan untuk menginjak-injak musuh negara atas usaha dan pengorbanan kisanak dalam melindungi penduduk desa yang menyedihkan seperti kami."

Salah satu penjaga tersenyum bangga, senang dengan pujian itu, sementara penjaga lainnya menatap tajam padanya. Janar menatapnya, tahu bahwa prajurit yang satu ini akan menjadi tempurung kelapa batu yang sukar untuk dipecahkan.

"Begini, adikku dan aku," katanya sambil menunjuk Keti yang menampilkan senyum cerah semanis mungkin di belakangnya, "kami adalah pedagang keliling. Kami bepergian jauh dan ke seluruh penjuru angin menjual aneka rupa, mulai dari makanan, perhiasan dan pakaian. Barang dagangan kami bahkan mungkin akan terlihat bagus di tubuh kisanak. Mungkin kisanak berminat untuk mencoba beberapa jika kisanak sudi."

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun