"Faktanya," kataku tidak ingin memberi kesempatan Sambadi mengacau lebih jauh, "Aku sedang kesal. Jauh-jauh dari Jakarta untuk bertemu temanku di sini, dan dia belum muncul."
"Temanmu keterlaluan," kata Sambadi penuh simpati. "Anda pasti sangat kesal."
'Hmm. David Raja tidak pernah peduli pada orang lain," kataku emosi.
Sambadi menyambut nama yang kusebutkan dengan gembira. Ada tipe manusia yang hanya perlu disebutkan nama seseorang dan dia pikir dia mengenalnya. Dia menyebutkan dua David, satu Dave, dan satu Raja secara berurutan.
Suara Kirana memotong kegembiraan Sambadi.
"Ah, Dr. Nasir Didi!" dia berseru. "Bagaimana kondisi pasien kita?"
Kami semua mendongak untuk melihat dokter turun dari tangga. Dr. Nasir berusia sekitar lima puluh tahun, pendek dan botak. Dari ekspresi serius dan khawatir yang khas bagi dokter umum yang bekerja terlalu keras di wilayah-wilayah terpencil.
Dokter memandang kami semua secara bergantian, seolah-olah sangat berharap bahwa kami semua dalam kondisi fisik yang sehat, dan duduk dengan lelah di kursi.
"Ada kabar terbaru, Dokter?" tanya Danar.
'Tidak ada yang baru," kata Dokter Nasir dengan nada lelah. "Hanya menunggu waktu. Merupakan mukjizat jika dia bertahan malam ini."
"Oh, Dokter, tidak adakah yang bisa kita lakukan?" tanya Kirana. Aku bisa melihat dia benar-benar berharap.