Apinya kecil dan di luar musim. Tiga dalam satu minggu memberi jeda kepada petugas pemadam kebakaran, membuat mereka berganti pakaian kanvas tebal dan menggaruk kepala. Tidak ada kilat menyambar, tidak ada anak-anak bermain petasan, dan tidak ada kerusakan kecuali pagar dan beberapa rumput lapangan yang hangus.
Dan sapi yang hilang.
Aku bisa melihat naga itu dari teras belakangku. Dia membungkuk di celah antara batu di bukit besar di belakang rumah kami. Para tetangga berpura-pura tidak bisa melihat asap, tetapi mereka semua mengunci pintu, membawa masuk anjing dan kucing, dan menutup tirai jendela untuk berlindung.
Seminggu kemudian dan kebakaran berhenti. Tidak ada yang bertanya tentang sapi, dan aku mulai bertanya-tanya apakah aku satu-satunya yang tahu dia ada di sana.
***
Aku menemukan apa yang dia inginkan secara tidak sengaja. Rabu sepulang kerja, aku mengayuh sepeda di pinggir jalan untuk tetap bugar. Biasanya aku menghindari bebatuan, tetapi rasa ingin tahu menguasaiku. Dan aku bersepeda melewatinya dengan rantai sepeda berderit.
Mungkin aku memutar badan untuk melihat bebatuan, atau mungkin ini hanya takdir, tapi rantai liontin emasku putus dan aku mendengar bunyi logam berdenting ke trotoar. Ayahku memberiku liontin itu sebagai hadiah kelulusan. Aku tidak akan meninggalkannya, bahkan dengan naga yang membara di sisi jalan.
Ketika berhenti mengayuh, aku bisa mendengar bunyi napasnya, embusan udara panas berbau daging sapi panggang. Aku tahu dia menginginkan liontin itu bahkan sebelum aku berbalik dan melihat lengannya yang bersisik meluncur keluar dari celah. Kulitnya berlapis-lapis logam yang berkilau bagai cermin, memantulkan bayangan rumah kami yang sempurna dan serasi di seratus sisi. Cakar hitam mencabut hartaku dari aspal, dan aku kembali ke sepedaku dan pulang dengan tangan kosong.
Aku menutup tirai selama beberapa hari. Tapi aku yakin naga itu tahu rumah tempat tinggalku.
Rumah yang lain milik keluarga dengan mainan anak-anak di halaman belakang, dan dia sudah mengendus aromaku.
***
Aku mengintip keluar pada hari Kamis dan melihatnya berkeliaran. Emas tampaknya telah membangkitkan nafsu baru pada monster itu, dan sekarang dia berkeliaran di antara rumah-rumah, melihat ke jendela.
Aku yang dia inginkan. Aku tidak pernah meragukan itu. Dia mencicipi liontinku, rasa bersalahku.
Apakah itu pedas? Aku mencoba membayangkan perpisahan yang tak terucapkan, gagal pulang tepat waktu.
Malam itu aku mengisi ransel dengan semua perhiasan lama. Tanganku gemetar. Aku memasukkan beberapa peralatan perak dan kandil yang mungkin terbuat dari kuningan biasa.
Aku menunggu sampai melihatnya menghilang ke dalam sarang sebelum mengayuh dan melemparkan ranselnya ke celah.
Dalam kegelapan, asap tampak lebih tebal dari biasanya. Desis napas naga lebih lantang dibandingkan suara jangkrik. Aku berlari pulang dan baru tahu dia mengambil barang-barang itu ketika menemukan ranselku yang robek di teras keesokan paginya.
Pada hari Jumat, aku pergi ke toko barang bekas. Selama seminggu, aku mengisi tas rajut dengan perhiasan bekas, cangkir, nampan, dan patung-patung kecil yang terbuat dari kaca. Aku membuang-buang setengah gajiku untuk sampah orang lain, untuk barang koleksi yang rusak, pada batu permata plastik dan perhiasan plastik berlapis cat perak.
Satu per satu aku jatuhkan di celah batu. Monster itu mengambil hartaku, tapi aku butuh seminggu lagi untuk menyadari bahwa aku memiliki seekor naga.
***
Aku tidak tahu di mana dia menyimpan semuanya. Celah batu itu tidak cukup dalam. Mungkin dia memakan barang-barang itu, melahap sisa-sisa kehidupan kami dan membiarkan sapi-sapi tetap hidup. Setidaknya sampai aku melewatkan waktu makan. Dua bulan memelihara naga membuat pekerjaanku terhambat sehingga aku harus lebih sering lembur.
Beberapa dari kami pergi untuk minum-minum setelahnya. Kami tertawa sampai tengah malam dan kemudian saling main mata, mengoceh dan menggoda, setidaknya selama satu jam lagi.
Aku sempoyongan pulang sekitar jam dua pagi dan menemukan seekor sapi mati di halaman rumahku.
Seorang tetangga menelepon polisi, dan malam berikutnya aku meninggalkan tiga ransel di luar sarang naga. Aku mengemas barang-barang yang lebih baik: piala yang kumenangkan di SMA, jam tangan milik kakek. Lebih banyak perhiasan yang bukan plastik.
Naga itu mengikutiku pulang. Aku menangkapnya mengintip dari jendela, dan ketika aku menarik tirai, naga itu melihat lurus melalui jendela.
Sebelum aku menutup pintu, dia melihat apa yang ada dibaliknya. Dia melihat kristal yang bagus. Dia melihat hal-hal yang kusimpan untuk diriku sendiri.
***
Di malam hari sebelum tidur aku bertanya-tanya. Apakah tetangga memiliki naga sendiri? Apakah mereka juga serakah? Apakah mereka mementingkan materi dunaiwi di atas keluarga? Apakah mereka pergi terlalu lama dan pulang telat?
Aku kini tidur dengan lampu menyala dan bisa mendengarnya menggerogoti liontin ayahku. Aku bisa melihat senyumnya meski tiraiku tertutup. Pernak-pernik rasa bersalah tidak mungkin bisa memuaskannya selamanya.
Aku tak punya emas lagi. Bangkrut.
Aku menumpuk semua milikku di tengah ruang tamu. Furnitur ditumpuk rapi, tapi sisanya kulempar begitu saja. Perhiasan, pakaian, pernak-pernik—semuanya sekarang sampah. Makanan naga.
Aku melepaskan semuanya dan membiarkan gas menyala. Yang dibutuhkan hanyalah percikan api, dan nagaku terbuat dari api dan keserakahan.
Aku meninggalkan mobil juga. Rumah kubiarkan tak terkunci untuknya.
Dia merangkak dari celah batu. Desisan napasnya mengusirku.
Aku pergi dengan sedikit yang bisa kupakai, dan jika ada yang kubutuhkan akan kusewa,
Aku kabur dan terbang dan tidak memiliki apa-apa.
Bandung, 4 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H