Simfoni orkestra terbarumu adalah tebing kapur yang kamu ingin aku terjun bebas dengan sendirinya.
Sebagai gantinya aku mengemudi Cortina dan mengendarainya dengan kencang ke ruang antara notasi dan tongkat, tetapi tidak sebelum kamu mengeluarkan Zippo dari kotak sarung tangan dan membakar rumah.
Kemudian kamu akan menarik kembali manset seperti tukang sulap, semua senar mekar di tangkai morning glory dan bunga hitam.
Wajahmu kaku dan hasratku yang dulu besar dan tak terhingga kini tersedu-sedu di bak mandi dengan mata pahat di tangan.
Kamu mendiami flat bawah tanah, dindingnya, langit-langitnya. Jalannya konyol dan kaca patri menampung semua ungkapan yang tidak berakhir di auditorium.
Kamu membuat semua ini terjadi. Setelah semua keliman dan kaus kaki, aku pikir kamu akan tahu bahwa inilah aku. bahwa itu tidak ada hubungannya denganmu sebagai pribadi, sebagai seorang pria. Sesuatu dari pertama kali kamu menemukanku dengan kepala di tempat yang seharusnya tidak. Sebutkan namaku di sela pertunjukan. Ucapkan namaku di ruang tertutup. Bawa penonton ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi.
Dan di taman, di dekat gerbang belakang, seberkas cahaya tempat aku meninggalkan napasku yang rapuh, tertera di tengah dan dihargai menjadi dua bagian seperti kumbang.
Kerikil dari hari Ahad yang lain di bawah lutut tidak membantu mengatasi rasa sakit yang tajam atau kebosanan yang perih. Daun jendela di kusen, tanggam lima tuas, pesan penjawab yang mengatakan kita keluar saat kita benar-benar masuk. Lantai beton, ruang panik hati berlapis baja tiga puluh senti.
Mari kita tidak memulai yang seperti ini lagi. Sisir rambutmu dan bercermin.
Ambil sesuatu untuk dimakan dari lemari es saat kamu pergi.
Bandung, 27 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H