Saat senja semesta tiba, Dhia tahu sudah waktunya untuk melarikan diri. Dia menaiki pijakan yang diikat ke tiang listrik kayu di persimpangan jalan di seberang rumahnya. Enam bulan sejak gempa, penguasa masih belum mengirimkan teknisi untuk memulihkan listrik desa.
Terlipat menjadi dirinya sendiri, dia duduk ditemani burung hantu kecil, perburuannya selesai sudah. Bersama-sama mereka diam. Bersama-sama mereka bernapas. Bersama-sama mereka berkumpul, merasakan pekatnya kegelapan malam, mendengarkan suara bisik-bisik tersamar.
Di seberang jalan, cahaya lampu berfluktuasi dari kamar ke kamar. Dia memanggil Dhia, lembut dan rendah, datanglah jalang kecilku.
Suara itu mendesak sampai dia mencarinya di rak-rak terbuka di aula. Memeluk tiang listrik, Dhia terkenang janin putranya yang berlumuran darah terlepas dari tubuhnya dan merintih menggemakan tangis teredam di dalam bilik.
Berkatilah aku Ayah, Ibu, Kakak, Kakak, Suami, Sahabat dan Kekasih, karena aku telah berdosa. Tapi jangan lupa, tidak satu pun dari kalian kecuali bayiku Adam yang tidak berdosa, jadi kosongkan saku kalian dan biarkan kerikil tajam itu jatuh kembali ke tanah.
Tidak akan ada rajam di sini. Tidak dibutuhkan. Aku siap membayar untuk kita semua.
Setelah selesai, dengan sabuk pinggang dan rasa malunya, dia mematikan lampu minyak tanah. Dalam keheningan, dengungan listrik menyanyikan lagu pengantar tidur di sabuk yang menggantung. Dhia tidur.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika Pastor Leo pertama kali datang pada suatu Minggu malam, dia berharap Sang Bapa akan berbicara dan menyelamatkannya. Seorang yang mendengar semuanya dalam Pengakuan Dosa. Tetapi ketika dia berkata, Gael, saya mendengar Anda telah terlihat dalam pengakuan dosa di desa tetangga. Apa aku tidak cukup baik untukmu?
Suami Dhia tertawa. Tidak sama sekali, Bapa. Tetapi jika saya mengaku kepada Anda, Anda mungkin tergoda untuk memberi tahu Janda Emma bahwa saya menipu dia dalam penjualan buah zaitunnya.
Botol berdenting disamarkan tawa mereka dan harapannya tenggelam dalam cairan arak yang dituangkan suaminya ke dalam gelas pendeta.
Fajar semesta datang, Dhia terbangun oleh gemuruh suara guntur, bergulir jauh, memudar menuju bayang-bayang pegunungan. Gemerisik kehilangan di bawah kulit. Pertemuan ular yang bersembunyi di bawah tanah dan selimut menunggu cahaya.
Fajar samudra datang, kegelapan mundur menjauhi cahaya gelenyar di cakrawala. Awan berpisah menyapu bulan yang memudar dan bintang pagi.
Dhia menjuntaikan kakinya, melingkarkan jari-jari kakinya yang seperti monyet yang kesemutan membelit sabuk dan menyerap energinya. Aliran listrik statis membakar seperti sekering yang menyala di pembuluh darahnya, menyalakan neuronnya, memberi kekuatan pada sinapsisnya dan memicu jantungnya yang lesu sehingga dia percaya, suatu hari dia akan merasakannya lagi. Hidup lagi. Dicintai lagi.
Di puncak fajar bumi, ketika panas mengukus uap basah dari jalan-jalan yang gelap dan memenuhi udara dengan buah ara, seruni, dan melati wangi. Burung hantu terbang untuk berburu sarapan bagi anaknya.
Capung merah menari di udara basah berembun.
Sudah saatnya arwah Dhia kembali ke tubuhnya.
Bandung, 27 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H