Fajar semesta datang, Dhia terbangun oleh gemuruh suara guntur, bergulir jauh, memudar menuju bayang-bayang pegunungan. Gemerisik kehilangan di bawah kulit. Pertemuan ular yang bersembunyi di bawah tanah dan selimut menunggu cahaya.
Fajar samudra datang, kegelapan mundur menjauhi cahaya gelenyar di cakrawala. Awan berpisah menyapu bulan yang memudar dan bintang pagi.
Dhia menjuntaikan kakinya, melingkarkan jari-jari kakinya yang seperti monyet yang kesemutan membelit sabuk dan menyerap energinya. Aliran listrik statis membakar seperti sekering yang menyala di pembuluh darahnya, menyalakan neuronnya, memberi kekuatan pada sinapsisnya dan memicu jantungnya yang lesu sehingga dia percaya, suatu hari dia akan merasakannya lagi. Hidup lagi. Dicintai lagi.
Di puncak fajar bumi, ketika panas mengukus uap basah dari jalan-jalan yang gelap dan memenuhi udara dengan buah ara, seruni, dan melati wangi. Burung hantu terbang untuk berburu sarapan bagi anaknya.
Capung merah menari di udara basah berembun.
Sudah saatnya arwah Dhia kembali ke tubuhnya.
Bandung, 27 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H