Sebelum berangkat menuju penugasan, Prima mendatangi kediaman inspektur. Lebih merupakan persiapan. Tanpa pamit ke Nuna, dia merasa tidak adil jika yang dia temukan nanti adalah kematian.
Dia menemukan kekasihnya dekat jendela di ruang keluarga. Nuna tampak lebih cantik daripada biasanya, meskipun pakaian hitam yang biasa dia kenakan menonjolkan rambut hitamnya dan matanya yang bersinar, kulit zaitun dan wajah oval yang dia warisi dari ibunya yang berdarah campuran Italia.
Nuna tersenyum pada Prima, dan, seperti biasa dalam menghadapi senyum itu, dia mengingat tempat-tempat yang belum mereka jelajahi tempat pikiran mereka tidak pernah benar-benar bertemu. Kesan ini tidak diragukan lagi telah menghambat perkembangan hubungan mereka. Sampai sekarang keduanya menahan gejolak gairah mereka dalam tali persahabatan.
Prima tidak punya ide untuk memutuskan tali itu di pintu masuknya, tapi kedekatan Nuna dan gerakan tiba-tiba yang tak terduga mengacaukan logika saat itu.
Tangan mereka, meraih buku yang terjatuh bertemu. Kontak kulit menyetum Prima. Dorongan yang tak terkalahkan merasukinya. Jika dia mempertaruhkan kematian malam itu, adalah kebodohan untuk mengabaikan kehidupan hari ini. Jadi jarinya memegang tangan Nuna sementara mencari kata-kata.
Setelah beberapa saat dia menjadi sadar bahwa jari-jari gadis itu bergetar dalam genggamannya. Dia melihat masalah besar dan keraguan yang tak terjawab yang memadamkan cahaya di matanya. Sebuah firasat.
Prima berjuang megeluarkan kata-katanya. Suaranya goyah.
"Jangan menatapku seperti itu, Nuna. Aku akan menikah tak lama lagi."
Nuna menggelengkan kepalanya. Butir bening menggenang di pelupuk matanya. Tangannya dengan lembut mengusap rok hitamnya.
"Prim, kamu sering bertanya kenapa aku memakai pakaian hitam ini. Sekarang kamu mengerti tanpa aku harus memberitahumu. Aku bisa mempercayaimu? Karena tidak ada yang tahu kecuali ayahku."
Prima mengangguk. Nuna melanjutkan dengan susah payah.
"Pria yang pernah akan menikah denganku, Prim. Kamu tahu ... dia tewas."
 Prima bangkit dan menoleh ke jendela. Dia bersandar di sana, menatap jalan yang sibuk, mendengarkan pertengkaran yang seru. Di antara anak-anak yang sedang bermain, seorang anak laki-laki tidak terawat dan kumal, berdiri bersandar pada pagar menangis sekencang-kencangnya. Dalam pandangannya, Prima menpersepsikan pemandangan itu sebagai ciri khas hidupnya---menangis akan hal yang tak terjangkau, menyerah pada keputusasaan.
Malam kehilangan terornya. Masalahnya menjadi masalah ketidakpedulian.
Kemudian tangannya berada di pinggang ramping gadis itu, menariknya mendekat agar dia dapat melihat wajah yang telah kehilangan warnanya, dan keraguan yang tumbuh di matanya.
"Cobalah untuk mengerti, Prim. Aku hanya tahu menyakitkan melihatmu tidak bahagia. Enam bulan yang lalu saat kau pertama kali datang, aku tidak pernah bermimpi seorang pria bisa membuat perbedaan sebesar itu padaku lagi."
Dan mendadak warna kehidupan kembali ke wajahnya. Dia mengepalkan tangannya. Tekad dalam nadanya sangat kuat.
"Apakah itu artinya aku tak konsisten? Aku tidak stabil. Aku tidak akan pernah kembali seperti dulu lagi."
 Prima melambaikan tangannya tanpa daya.
"Kenapa, Sayang? Yang dulu sudah berlalu."
"Tapi kamu ... Ini sangat tidak adil. Dan aku menginginkanmu untuk menjadi sahabatku."
Nuna tertunduk menyembunyikan wajahnya.
"Aku tidak tahu. Bagaimana aku bisa tahu? Bagaimana orang bisa?"
 Prima melihat bahunya mulai bergetar. Emosi ini memicu harapan kecil, namun sekaligus membuatnya marah karena Nuna harus menderita.
"Hentikan itu," katanya kasar. "Tidak layak bagimu. Maaf aku bicara. Seharusnya aku punya akal sehat, tapi hari ini aku akan pergi ke luar kota untuk---"
Dia berhenti dan kembali ke jendela.
"Itulah sebabnya aku ke sini untuk bicara, karena ... karena aku mungkin akan pergi untuk waktu yang sangat lama."
Nuna mengangkat kepalanya.
"Berapa lama, Prim?"
"Hanya Tuhan yang tahu."
"Ke mana? Barat? Timur"
Prima menggelengkan kepalanya.
"Belum bisa dipastikan. Jaga dirimu baik-baik. Aku harus pergi. Aku harus bersiap-siap."
Nuna bangkit dan berbicara dengan sedih.
"Kalau begitu selamat jalan, Prim. Kamu mau mencoba untuk mengerti? Mungkin kamu akan datang menemuiku yang sama saat kamu kembali?"
Prima menelan ludah, menekan keinginannya untuk tinggal, untuk melawan takdirnya.
"Aku akan kembali," jawabnya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H