Selama dua hari, para begal berada di desa menikmati perlakuan istimewa. Dipuji-puji dan dibanjiri dengan makanan dan minuman yang berlimpah yang diberikan penduduk desa kepada mereka.
"Kita harus segera berangkat ke Bujung Tenuk. Sudah terlalu banyak kita buang-buang waktu di sini," Janar berkata pada saat makan siang di hari kedua.
"Janar, kau sepertinya tidak menyukai hal-hal yang baik. Bujung Tenuk sudah tidak jauh lagi dari sini. Paling lama satu hari perjalanan lagi. Untuk saat ini, nikmati saja apa yang ada sebelum kita melanjutkan perjalanan," kata Ganbatar sambil berbaring santai di dipan kayu. Seorang gadis pelayan memijit-mijit bahunya.
"Janar benar. Kita harus pergi. Pasukan kerajaan bisa saja datang kapan pun sementara kita membuang-buang waktu di sini," kata Palupi.
"Aku setuju dengan Ganbatar, kita harus beristirahat sebentar dan menikmati apa yang kita dapat di sini selagi masih ada. Entah sampai kapan kita bisa santai seperti ini lagi," kata Ubai. "Si tukang jamu juga masih merawat penduduk.Â
Sangat jarang bertemu dengan ahli ramuan yang murah hati yang mau berbagi ramuannya secara cuma-cuma, jadi biarkan warga mendapat manfaat dari kesempatan unik ini. Mereka pantas mendapatkannya setelah semua yang telah mereka berikan untuk kita."
Janar menggelengkan kepalanya, "Ayo kita lakukan pilihan pakat."
"Tapi resi pandita belum datang," kata Ganbatar. "Bukankah kita harus menunggu sampai dia selesai?"
"Tidak! Kita adalah orang-orang yang diberi tugas yang harus diselesaikan. Peran Resi Umbara hanya untuk menemani kita. Kalau dia ingin tinggal maka itu adalah pilihannya. Dia tidak masuk hitungan sebagai anggota kelompok," teriak Palupi marah.Â
Matanya melotot bergantian menatap Ganbatar dan Ubai, menantang salah satu dari mereka untuk melawannya. Ketika tidak ada dari mereka yang menjawab, dia melanjutkan, "Yang mendukung melanjutkan perjalanan, kepalkan tangan. Dan yang berpikir kita sebaiknya tinggal, buka telapak tangan."