"Bagaimana sekolah kalian hari ini?" tanya Mama Rano sambil berjalan keluar dari selasar. Wajahnya tampak berseri-seri. Senyuman yang mempertontonkan gigi putihnya tak menyembunyikan celah sempit di tengah-tengah di antara gigi seri atas. Dia memeluk anaknya satu per satu.
Rano dan Suti balas tersenyum. "Menyenangkan, Ma. Aku mendapat teman baru hari ini," kata Suti ceria.
"Bagus, Sayang. Â Bagaimana denganmu, Abang Rano?" tanyanya. Pandangan mata perempuan bertubuh subur itu teralih dari wajah putranya oleh bunyi gemerisik di pohon kersen yang tumbuh liar. Seekor burung gereja terbang dari dahan yang rendah dan bertengger di atas pohon lainnya.
"Mama, meski aku sudah berusaha yang terbaik, tapi berteman enggak bisa dan enggak boleh dipaksakan. Aku rasa aku enggak akan punya teman di sekolah itu, paling enggak untuk sekarang. Anak-anak sini sama sekali enggak ramah," kata Rano.
"Kok bisa? Jangan-jangan Abang yang enggak ramah sama mereka," ejek Suti sambil tersenyum lebar.
"Mungkin mereka takut dengan karisma kamu," Mamanya tertawa. "Masuklah dan kita makan siang dengan tel---"
Suti menyela. "Apa artinya karisma?"
Mama terkekeh. "Artinya pesona, sayang. Abang Rano punya pesona yang membuat orang lain takut. Makanya mereka tidak mau dekat-dekat dia."
Suti mengangguk-angguk, entah mengerti entah tidak.
"Mama senang anak Mama suka bertanya. Ada peribahasa, Malu bertanya sesat di jalan. Tapi jangan juga terlalu ingin tahu," kata Mama, menundukkan wajahnya dan menatap Suti.