Ponselnya berdering pada pukul empat pagi.
"Sayang?" Suara Ravi, dengan nada kalut. "Kami baik-baik saja. Aku dan Jazz." Jazz adalah panggilan Ravi untuk Jasmine.
Diana duduk. "Apa yang terjadi?"
Ravi menabrak pagar pembatas bahu jalan tol. Mobilnya hancur total dan dia sedang dalam perjalanan pulang diantar seorang teman dari Karawang.
Jantung Diana kembali ke dadanya, tetapi tetap mawas seperti kucing yang waspada. Jasmine baik-baik saja. Ravi baik-baik saja.
Mobil itu tidak baik-baik saja. Mereka harus membeli yang baru. Diana tidur memimpikan aroma interior mobil baru.
Mereka memilih Mitsubishi Outlander yang hampir cukup besar untuk kucing dan peralatan Ravi. Bekas, tetapi dengan antarmuka GPS dan Ipod dan kursi otomatis.
Diana menyukainya. Dia membuat alasan untuk membawanya ke Toko Mahmud, satu-satunya toko yang menjual pelembab yang dia butuhkan. Dia bersedih ketika Ravi membawanya untuk manggung.
Musim kemarau berganti, dingin, hujan dan mengangat bersama kembalinya musim kemarau yang lembab. Tanaman di kebunya dipangkas dan disiangi. Tudung pohon kersen melapisi dirinya dengan putik bunga bagai butir-butir salju.
Suatu pagi yang gerah, Diana memandang rumahnya, menatap catnya yang mengelupas dan sirap berusia dua dasawarsa yang dilapisi lumut. Diana menginginkan atap baru.
Ravi menentangnya. Dia tidak berharap mereka akan tinggal di rumah ini selamanya. Dia bilang mereka mungkin pindah ke Bogor. Atau bahkan Jakarta. Dia mendapatkan banyak tawaran dari studio rekaman.