Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gapura

8 Agustus 2022   21:35 Diperbarui: 8 Agustus 2022   21:50 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bursabajaringan.com

Ketika Ayah memutuskan untuk membangun sendiri gapura baru untuk jalan masuk ke tanah kami, tentu saja kami para anak laki-laki kebagian tugas untuk membantu.

Mungkin menurutmu tidak terdengar seperti masalah besar untuk membangun sebuah gapura, beberapa jam di kerja tukang, sedikit keringat lalu selesai.

Tapi, tidak, ini bukan sekadar gapura kecil di pagar masuk. Yang Ayah inginkan adalah gapura megah di jalan utama dekat jalan raya, tempat kamu berbelok ke jalan tanah kecil kami yang mengarah lima ratus meter ke depan rumah. Selama bertahun-tahun, tidak lebih dari seonggok bambu di padang rumput yang ditancapkan oleh para penggembala. Tetapi Ayah selalu ingin memperbaikinya.

Mungkin "gapura" adalah kata yang salah.

Ayah lebih memikirkan "pintu gerbang masuk". Dia ke kota beberapa minggu yang lalu dan melihat beberapa tiang telepon yang tidak terpakai tergeletak di belakang koperasi karyawan perusahaan listrik. Dia mulai bertanya-tanya, lalu mulai melakukan barter, dan hal berikutnya yang kami ketahui, dia membawa pulang sebuah truk penuh tiang dengan imbalan janji untuk membantu memangkas beberapa pohon di pinggir jalan yang mengganggu kabel listrik, dan yah, kami mendapatkan proyek akhir pekan yang melelahkan.

Aku dan abangku masih SMA pada saat itu, dan memiliki prioritas sendiri untuk akhir pekan kami. Tapi Ayah berjanji itu akan menjadi pekerjaan yang gampang, dan dia menyuap kami dengan janji untuk mengajak kami piknik ke kota pada akhir pekan berikutnya.

Bagaimanapun, kami tahu bahwa kami tidak punya pilihan lain setelah Ayah memutuskannya, jadi pada hari Sabtu pagi kami mengenakan pakaian kerja kami dan berharap semuanya berjalan dengan lancar.

Tentu saja, itu ternyata menjadi pekerjaan sepanjang hari, dan sama sekali jauh dari gampang.

Pertama, kami memasang mata bor ke traktor dan menggali lubang besar yang dalam di kedua sisi bahu jalan tanah, tetapi bukan tanpa kejadian mata bor beberapa kali terjepit. Yang artinya, diperlukan backhoe untuk membantu mencabutnya.

Kemudian kami memasang tiang telepon besar di setiap lubang, yang melibatkan mendorong pangkal tiang ke atas dengan truk pikap sementara kami menarik dengan traktor dari sisi lain dengan rantai yang terhubung ke bagian atas tiang. Begitu benda itu masuk, ada banyak teriakan di semua sisi tentang apakah sudah lurus dan bagaimana melakukan penyesuaian yang diperlukan, lalu kami memadatkannya dengan tanah.

Adikku kemudian mengangkat Ayah ke dalam ember loader sehingga dia bisa melihat bagian atas untuk membuatnya rata, menggunakan gergaji rantai besar. Dia menjatuhkan salah satu bagian di kap mobil pikap secara tidak sengaja. Tapi, yah, toh mobil itu sudah penyok di sana-sini.

Akhirnya, kami mengangkat tiang ketiga dan meletakkannya secara horizontal di ujung dua lainnya. Ini membutuhkan beberapa trik lama yang Ayah ketahui, melibatkan tali dan katrol dengan cara yang bahkan membuat kakakku dan aku terkesan. Orang tua itu masih memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni.

Ayah telah membuat beberapa tiang logam melengkung besar di toko dan dia naik ke puncak tangga tertinggi untuk memasangnya di tempatnya sementara kami melihatnya merutuk dan berjuang dari bumi di bawah. Tapi akhirnya, tepat sebelum gelap, kami berdiri di tanah sambil melihat ke atas, berkeringat dan kelelahan, tetapi dengan bangga mengagumi gapura baru yang megah ke tanah kami yang sederhana, yang telah kami buat dengan tangan kami sendiri.

Ibu meninggalkan rumah, berjalan dan berdiri di belakang kami. Dia mempelajari gapura dengan menilai. "Kelihatannya bagus, Tuan-tuan," katanya, "tetapi apakah truk kita bisa lewat di bawahnya?"

Seketika itu juga kami menyadari bahwa dia benar. Ayah bangga dengan fakta bahwa dia memiliki salah satu truk terbesar dan tertinggi di jalan, dan kami semua ahli dalam mengamati jembatan palang dan pompa bensin.

Mustahil kami bisa membuatnya lolos di bawah palang gapura baru. Adikku dan aku menoleh untuk melihat ayahku, tepat pada waktunya untuk melihat senyum memudar dari wajahnya saat dia meraih gergaji rantainya. "Oke, anak-anak, angkat Ayah ke sana, lagi."

Dan begitulah cara kami memiliki dua tiang telepon T yang megah di kedua sisi jalan tanah yang menuju lahan kami. Pada akhir pekan berikutnya, aku dan saudaraku memperhatikan ketika Ayah membawa truk ke jalan raya menuju kota, ternyata lelaki tua itu telah memotong bagian yang tepat dari tengah tiang horizontal untuk membiarkan truk melintas.

Dan kami memutuskan bahwa gapura baru masih terlihat cukup bagus.

Bandung, 8 Agustus 2022

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun