Dia tak bisa menunggu sukses, maka dia melanjutkan tanpanya.
Tampaknya satu strategi yang memadai, karena waktu dan ruang terlibat dalam kesadaran kita, bukan abstraksi di luar pikiran.
Dia menyukai absurditas. Menangani pekerjaan setiap hari dengan absurditas, lalu mengabaikan pekerjaan itu sendiri.
Dan siapa yang bisa memproyeksikan apa yang mungkin muncul? Pikiran itu sendiri tidak dapat diprediksi.
Dia mencuci pakaian, memotong rumput, mengepel lantai. Sementara itu merasa seolah-olah dia harus melakukan sesuatu yang lain, keluar dari kotak, kompetensi tertentu di luar lintasan tugas-tugasnya.
Jika dia bermain kecapi, mengendarai sepeda roda satu atau berbicara bahasa Klingon, bakatnya akan memberikan bobot dan bentuk yang substansial. Orang mungkin akan mengenalnya karena itu, dan mungkin dia bisa berhenti menggeliat dalam pikirannya yang bergejolak penuh amarah.
Tentu saja, kompetensi khusus ini akan memajukan ritmenya sendiri, melibatkan kesabaran dan disiplin, dan tentu saja, pengorbanan.
Dia tidak yakin apakah dia siap untuk itu. Dia merasakan kengerian akibat membayangkan perpindahan lintasan tugas-tugasnya, sebagai satu absurditas alih-alih yang lain.
Dia tak bisa menunggu sukses, maka dia melanjutkan tanpanya.
Dan ketika tidur, dia adalah seseorang yang wajahnya tertelungkup di bantal tetapi matanya tertuju pada pintu-pintu.
Setiap pintu memunculkan dan menyembunyikan kejutan hidup yang masih rahasia.
Bandung, 7 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H