Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Santap Malam Angin

13 Juni 2022   20:30 Diperbarui: 13 Juni 2022   20:31 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sang Pendakwah di radio menceritakan kisah yang diceritakan setiap generasi tentang dirinya sendiri.

Ini perang, katanya, dan surat kabar tidak sampai ke kota kecil kami. Mereka yang menemukan edisi spesial dan berani membacanya, tidak akan punya nyali untuk mengambil risiko membagikan apa yang telah mereka baca.

Perpustakaan kini berupa puing-puing. Memiliki radio adalah pelanggaran berat.

Seorang lelaki yang kukenal, kata Sang Pendakwah, dieksekusi karena mengencingi namanya di pasir. Penerbit, mereka menyebutnya. Penerbit berita hoaks.

Tidak ada berita, tidak ada bahan bakar, tidak ada makanan. Alih-alih makan malam, kami kimenyanyikan lagu-lagu tentang negeri makmur, lagu-lagu cinta dan masa remaja, dan tentang dewa yang baik dan pemaaf. Yang dulu pernah dan akan selalu menjadi dunia yang subur ini.

Ketika kami tidak punya apa-apa lagi, mereka mengambil peta dan buku-buku yang kami sembunyikan, yang sebenarnya juga merupakan peta.

Untuk semua yang kami tahu, kami adalah satu-satunya dari jenis kami yang tersisa di bumi. Kami saling berbagi cerita dari kitab suci. Ayahku seorang pendakwah, kata Sang Pendakwah, hafal banyak ayat.

Aku hanya ingat lagu-lagu, dan lirik lagu-lagu itu telah kutulis ulang berkali-kali dan kuubah agar sesuai dengan suasana hatiku sendiri.

Sekarang aku mencari orang lain yang mengetahui lagu yang sama, sehingga kami dapat menyanyikannya kembali dan menulis ulang lagu tersebut di udara, sebelum berbicara dilarang.

Aku ingat juga beberapa perumpamaan dan tamsil. Beberapa doa, pelajaran, halaman yang pernah dihafal dan masih utuh.

Ketika ingatan saling bersaing, kompromi menjadi satu-satunya pilihan, dan buku-buku baru muncul dengan teks yang nyaris serupa dengan yang hilang dari buku-buku lama.

Sementara itu, dunia menulis babnya sendiri, tentang tempat-tempat yang tidak memiliki nama sampai kami dibawa ke sana. Yang namanya kini tak terkatakan.

Kami memahami sejarah, tetapi siapa yang menulis sejarah kami saat kami hanya mencoba bertahan? Tak satu pun kata yang tertulis di atas kertas yang bisa menyangkal kami


Bandung, 13 Juni 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun