Ketika aku kembali dari apotek, dia sedang menulis catatan di selembar kertas putih kosong. Dan aku memikirkan tentang kisah-kisah bijak yang luar biasa yang kadang-kadang ia ceritakan: cerita yang diwarnai dengan gagasan tentang keberadaan sebagai sebuah film. Mungkin saat itulah aku mulai berpikir melalui lensa. Sore itu kami mendapat video tentang perkebunan mangga di Indramayu.
Kami mengabaikan tanggung jawab dan memutuskan untuk menonton film serial indie Sebatang Lilin Membakar Matahari. Sambil menonton, aku mengamati beberapa episode yang sungguh menyiksa: menyaksikan tokoh Bramantika Hanung terus menyindir anaknya yang berkebutuhan khusus sepanjang adegan berlangsung, diselingi pekerja perkebunan kolonial yang bekerja di bawah sinar matahari tengah hari mandi peluh. Close-up mangga dan dua manusia telanjang di sebuah gubuk reyot, bercinta di bawah atap daun kelapa yang bolong-bolong. Dua caping bambu tergeletak di lantai tanah saat tirai cahaya menerobos daun pohon mangga bergoyang tertiup angin. Dia mulai menangis.
Mencari makna yang tak ada, pikirku.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H