Kemunculan KBBI V dengan kegagahannya menentukan mana kata 'baku' dan 'tidak baku' membuat jidat penulis berkerut tujuh lipatan.
Siapakah mereka para dewa pakar bahasa yang menentukan hidup mati sebuah kata? Dasar ilmu kanuragannya diperoleh dari padepokan mana?Â
Gampangnya, menurut 'para pakar' penafsir KBBI (V), kata baku adalah kata di sebelah kanan tanda panah '-->'.
Dengan demikian, kata 'napas' baku, sedangkan 'nafas' (yang notabene sudah menjadi kelaziman dalam jutaan buku, artikel, puisi, lirik lagu sebelum adanya KBBI) tidak baku. 'Saksama' halal dan 'seksama' (seperti yang tertulis dalam beberapa teks proklamasi versi ketik) tidak. Atau ditentukan bahwa 'hutang' adalah bentuk tidak baku dari 'utang'.
Bahkan, para 'pakar' penyusun KBBI berhasil menghilangkan beberapa lema yang terdapat pada kamus pendahulunya. Contohnya, kata 'manpaat' lenyap menguap entah ke mana.
Gile beneeer! pikir penulis.
Demi mendapat pencerahan tentang hal yang pelik ini, penulis  meninjau beberapa kamus bahasa Indonesia, dimulai dari Kamus Umum Bahasa Indonesia, karya fenomenal dan monumental Bapak Kamus Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta.
Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta
"Semoga kamus jang amat sederhana dan seringkas ini sedikit banjak dapat membawa manpaat djuga kepada sekalian pemakainja. Itulah harapan penjusun, tiada lain."
- SEPATAH KATA, Kamus Umum Bahasa Indonesia Tjetakan ke 1, 1951 Â
Semangat dari penyusunan Kamus Umum Bahasa Indonesia yang pertama setelah Indonesia merdeka ini adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya kata yang beredar dalam wilayah Indonesia. Perbedaannya hanya pada kata 'lama' dan 'baru', bukan 'baku' dan 'tak baku'. Istilah 'baku' dan 'tak baku' lahir kemudian ketika sebuah kata belum masuk dalam kamus keluaran departemen yang berwenang.Â
Jadi dari mana lahirnya 'bukan baku' padahal ada dalam kamus?
Anak panah salah kaprah
Ternyata biang keroknya ada pada tanda anak panah '-->'!
Silakan perhatikan dengan SEKSAMA gambar yang merupakan cuplikan dari bagian PETUNDJUK Kamus Umum Bahasa Indonesia Tjetakan ke 2, 1954.
Â
Dari sini, jelas sekali bahwa tanda panah dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta menunjukkan variasi pengucapan/penulisan kata dengan arti yang sama (sinonim), bukan menyatakan satu kata BAKU dan yang lainnya BUKAN BAKU.
Sayangnya, pada edisi-edisi Kamus Umum Bahasa Indonesia yang diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, PETUNDJUK yang berkaitan dengan tanda panah tersebut tak lagi disertakan. Akibatnya, terjadi 'skandal kata baku dan tidak baku'Â oleh para penyusun KBBI yang tidak paham pada dinamika berbahasa, terutama bahasa Indonesia.Â
Pada KBBI, anak panah '-->' dipakai sebagai penanda untuk rujuk silang bagi kata lema yang tidak disarankan pemakaiannya, yang merupakan bentuk varian kata lema yang ejaannya dianggap baku.Â
Siapa mereka yang menentukan 'napas' bentuk baku dari 'nafas'? 'Saksama' bentuk baku dari 'seksama'? Lahirnya kapan? Apa sudah pernah membaca Kamus W.J.S. Poerwadarminta? Nonton film Meriam Bellina?
Kesimpulan dan Saran
1. Terjadi kekeliruan dalam menentukan kata baku berdasarkan KBBI. Kekeliruan terjadi karena kurangnya pemahaman tentang sejarah sastra dan bahasa Indonesia itu sendiri.
2. Lembaga yang berwenang terlalu bersemangat membuat pembaruan (proyek?)Â sehingga tidak memperhatikan aspek ilmiah dan budaya sebagai rujukan dalam penyusunan KBBI.
3. Lema dalam kamus sudah sewajarnya diperkaya, tetapi disertai asal-usul yang jelas, dan juga tidak menghapus yang pernah ada dalam kamus pendahulu. Â
4. Salah kaprah/kekeliruan dalam penetapan kata baku ini harus segera diperbaiki dan disosialisasikan.
Bandung, 14 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H