Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rusunawa (Bab 4)

5 April 2022   20:00 Diperbarui: 5 April 2022   20:00 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim 

Rano duduk di lantai selasar memperhatikan mamanya menggantung cucian di tali jemuran sementara Suti membantunya.

"Suti, mana lagi?" tanya mama Rano. Suti memberikan kain basah di tangannya, lalu membungkuk perlahan untuk mengambil yang lain. Rano menatap mereka berdua, bengong.

Aku tidak suka tinggal di sini. Semua orang berusaha keras untuk berteman dengan kita, padahal aku tidak menyukai satu pun dari mereka, pikirnya.

Tiba-riba pundaknya ditepuk. Dia mendongak dan melihat dua anak laki-laki seusianya berdiri di belakangnya. "Hei anak baru," tegur yang menenpuk bahunya. Rano mengangkat lehernya perlahan dan menatap mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Kita lagi main sepak bola di sana," yang satunya berkata dan menunjuk. "Ikut main, yuk."

Rano mengangguk kepala samar. Keduanya menggumamkan beberapa kata lalu berlari ke taman bermain. Rano menoleh dan melihat mamanya yang sedang berdiri terpaku menatapnya sementara Suti membungkuk perlahan dan sibuk dengan ember besar berisi cucian yang hendak dijemur.

Mama Rano menggelengkan kepala dan berjalan mendekati putranya. "Nak, kenapa tidak pergi dan bermain dengan mereka? Kamu tidak ingin mendapat teman baru di sini?" tanyanya sambil mengusap kepala putranya perlahan, sementara di tangan satunya lagi memegang kantung plastik bubuk deterjen.

Rano tersenyum. "Mama, bukan begitu. Aku tidak suka mereka," katanya sambil mengangkat bahu.

"Terserah kamu, Nak. Tapi kamu perlu mencari teman baru. Tak ada salahnya mempunyai teman baru," kata mamanya dan berjalan ke dalam rumah.

Suti mendekati Rano dan menatapnya dengan sinis saat berjalan melewati abangnya.

"Apaan, sih? Enggak usah ikut campur urusan orang gede! Urus urusanmu sendiri," kata Rano.

Suti kembali mundur dengan perlahan. "Urusanku? Apa salah Suti?" dia bertanya sambil memutar bola matanya. "Bukan Suti yang bilang Abang harus berteman dengan orang-orang di sini." Dia menjentikkan jari sambil menjulurkan lidahnya.

"Aku tak punya waktu meladeni anak kecil. Sana ganggu orang lain," kata Rano sambil mendengus.

Suti masuk ke dalam rumah dan Rano menundukkan kepalanya sambil menggunakan jarinya menggores debu dilantai. Dia mengangkat kepalanya perlahan setelah mendengar suara mendekat. Ternyata Tiur dan seorang pria.

"Ini rumahku," kata Tiur sambil menunjuk. Tangannya memeluk pria itu erat-erat. "Ayo kita masuk," kata pria itu dan tersenyum. "Ayo," balas Tiur, membuat balon dari permen karet dan meletupkannya, lalu mengunyahnya dengan penuh semangat sebelum meniupnya kembali menjadi balon.

"Hei, apa kabar?" pria itu bertanya sambil menatap Rano saat mereka berjalan melewatinya. Rano hanya mengangguk. Semenit kemudian, Mak Linda keluar dari unitnya beriring dengan seorang tetangga dan mereka langsung tertawa. Tiur berjalan lewat dan memberi jari tengah kepada mereka.

"Pagi-pagi 'dah laku aja si pelacur," kata Bini, si tetangga, sambil bertepuk tangan.

Mak Linda mengernyit. "Jangan hari ini. Aku sedang tidak ingin ribut. Dia aja yang kegeeran ngirain aku iri sama dia. Itu laki juga pasti buta. Coba kalau matanya bener. Udahlah, yuk kita pergi sebelum dia ngajak berantem lagi."

Rano hanya mendengar, lalu menggelengkan kepalanya dan segera berdiri. Dia berjalan masuk, tetapi Bini menahan kerahnya dan menyeretnya kembali.

Bocah itu berbalik dengan cepat. "Ada apa?"

"Lu mau ke mana, bocah? Mau panggil Mama biar bisa ikut campur lagi seperti kemarin? Bilang Mama lu, Jangan suka ikut campur urusan orang," kata tetangganya itu.

Mak Linda tertawa. "Jangan ganggu si bocah, Tin. Biarkan saja dia."

Rano menghentakkan lengannya, melepaskan cengkeraman perempuan tetangganya itu sambil mendesis. Dia mencibir dan masuk ke dalam rumah.

"Terserah tampang lu dibikin jelek kayak tai kotok gitu, bocah. Enggak ngaruh buat gue," kata Bini sambil bertepuk tangan. 

Keduanya tertawa dan berjalan ke pusat rusunawa tempat orang-orang melakukan berbagai kegiatan ekonomi.

"Hai, Mak Linda! Bini! Mau ke mana?" sapa seorang pria yang duduk di kursi panjang di depan sebuah toko yang dibangun dari seng sisa proyek. Bini menikah beberapa tahun yang lalu dengan salah seorang bos preman rusunawa, dan orang-orang memanggilnya Bini seperti panggilan si bos untuk istrinya.

Bini menyeringai masam pada pria itu, seorang pemabuk. "Linggis, ngapain aja lu?" Mak Linda menyapanya.

Bini melambaikan tangan. "Kalau lu mau tetap disini baik-baikin orang yang kagak guna itu, gue jalan duluan," ucapnya dan mempercepat langkahnya meninggalkan Mak Linda. Linggis, begitu julukan si pemabuk, terhuyung-huyung perlahan dengan botol kecil berisi minuman beralkohol di tangannya, sambil menarik celananya yang melorot memamerkan celana dalam yang dulunya putih tetapi telah berubah menjadi cokelat karena kotor.

"Gue nyapa si Bini bukan berarti gue demen sama dia. Makanya dulu gue biarin si Tumpang yang dapetin, biar dia yang ngatur," ejek Linggis dan melambaikan tangannya.

Mak Linda tertawa dan berjalan menyusul Bini yang bolak-balik berteriak memanggil atau dia akan pergi meninggalkannya.

"Eh, Linggis! Enggak baik ngomong gitu. Dia udah jadi bini si Tumpang," seseorang mengingatkannya.

"Alah, sama aja. Sekali pelacur tetap pelacur." Linggis mengacungkan telunjuknya dan mencoba kembali duduk, tapi jatuh terjengkang di lantai. 

Orang-orang tertawa terbahak-bahak.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun