Sang Penulis mulai menulis ketika dia masih sangat muda. Dia tidak ingin buang-buang waktu. Membaca itu indah tetapi menulis terasa lebih baik. Setelah dia menyelesaikan buku pertamanya, dia menunjukkannya kepada ibunya.
Sangat bagus, kata ibunya sambil menggarisbawahi semua kata-kata salah eja. Sang Penulis kecewa dengan dirinya sendiri. Bahkan nama kelinci tokoh utamanya, Bobbon, kurang satu B.
Bisa dikatakan Sang Penulis masih terlalu muda. Dia membuang-buang waktu saja.
***
Sang Penulis membuat upaya lain di sekolah menengah. Dia mengirimkan artikel ke majalah dinding sekolah dan melihat kata-katanya terpampang. Ajaib!Â
Dengan beberapa teman, dia menerbitkan sebuah majalah di mana dia menulis macam-macam. Ada dua belas eksemplar setiap edisi. Dia juga menulis cerita pendek untuk dibacakan di kelas.
Namun setiap kemenangan kecil diikuti oleh rasa ragu-ragu yang berlebihan. Kekurangan dalam karyanya menghantuinya. Kemampuan berpikir Sang Penulis untuk mengkritik dirinya sendiri meningkat begitu pesat, sehingga menyelesaikan sebuah karya yang memuaskan dirinya sendiri menjadi mustahil.
Setiap kali dia mendekati akhir cerita, Sang Penulis menjadi lebih pintar dan memandang rendah si gadis yang menulis cerita.
Bisa dikatakan Sang Penulis akan lebih baik jika menunggu pikirannya matang. Dia telah membuang waktunya dengan sia-sia.
***