"Senang bertemu seseorang yang mau diajak bicara. Rata-rata di sini orangnya kurang ramah."
Aku melihat sekeliling ruangan menatap punggung belakang orang-orang yang asyik dengan sistem kardiovaskular mereka. "Kamu musisi?"
"Bukan," dia melihat ke bawah. "Oh! Aku mengerti. Tidak, aku seorang pemusik kata-kata."
Aku pasti terlihat bodoh karena dia melanjutkan.
"Aku seorang penyair."
"Aku pikir mereka semua mati dalam perang merebut kemerdekaan." Mulutku memang suka melepaskan humor yang tak lucu.
"Korban sakit hati karena tugas menulis puisi di SMA dulu?"
"Aku tak pernah menikmati pelajaran bahasa Indonesia. Membosankan. Yang mengajar perawan tua dengan bibir mengerucut dan terlalu banyak eau de cologne. Yang bisa kuingat hanyalah Pujangga Baru dan Chairil Anwar 'aku ini binatang jalang'."
"Setidaknya kamu masih ingat."
Sesuatu di matanya yang menghentikanku untuk pergi pada saat itu. Warnanya cokelat kehijau-hijauan menyala-nyala dengan antusiasme yang belum pernah kulihat sebelumnya. Bersinar dengan penuh semangat.
"Aku harus melatih otot," kataku sambil menunjuk pelatih yang mendekat.