Dilma lima puluh tujuh tahun, sepuluh bulan lebih tua dariku. Dia adalah sepupu kesayanganku, sahabatku.
"Maaf, tapi aku harus menutup telepon. Sedang menunggu telepon dari pemakaman," kata Dilma.
"Mengapa?" tanyaku. "Siapa yang meninggal?"
"Aku."
"Enggak lucu."
"Aku enggak bercanda, Him. Dokter mengatakan tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan."
"Pasti ada kesalahan." Aku merasakan sesuatu tersangkut di tenggorokanku.
"Tidak ada yang salah. Ginjalku jelek."
"Aku ... aku tidak percaya." Aku meneteskan air mata.
***
Setelah Dilma meninggal, aku duduk sendirian di ruang tamu. Kemudian, karena tiba-tiba aku merasakan hawa dingin, aku mengambil sweater dari lemari dan menyampirkannya di leherku.
Lampu meredup. Hal berikutnya yang kutahu, aku mendengar suara Dilma.
"Tidak terlalu buruk di sini. Tidak ada api, sedikit berangin. Banyak kupu-kupu, warna-warna indah, terutama biru. Tapi, gelak tawa, ya ampun! Kamu taakan percaya, Hum. Tak ada henti-hentinya. Aku sangat senang!"
Bandung, 20 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H