Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menulis Menjelang Tidur Malam

19 Maret 2022   22:00 Diperbarui: 19 Maret 2022   22:12 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal yang menakutkan bagiku adalah, jika aku sudah pernah menulis ini sebelumnya. Sayangnya, menulis apa yang ada di benakku telah menjadi zona nyamanku, modus operandiku. Merasakan sesuatu mengganjal di tenggorokan bukanlah hal baru bagiku. Jadi di sinilah aku, menatap layar kosong di depanku. Tenggat waktu, dan aku tidak punya apa-apa.

Bukan hal baru bagiku, tetapi mungkin aku salah ketika menyebutnya sebagai zona nyaman. Ini lebih merupakan keakraban masa lampau yang tidak tergoyahkan, garis dasar yang tinggi untuk kecemasan. Kita diberitahu bahwa kita semua memiliki dua naluri utama. Kita telah mendengarnya dari entah kapan. Kita diajari bahwa untuk bertahan hidup, kita merespons dengan kabur atau melawan. Itulah tujuan kita.

Namun, seperti segala sesuatu, ada area abu-abu. Aku bukan petinju dengan gaya kupu-kupu terbang. Di saat krisis, otakku mungkin membeku. Panik. Hancur. Pupus. Musnah.

Tentu saja, jika kamu membaca ini, kamu tahu akhir ceritanya. Kamu sudah menduga hasil akhir, tidak diragukan lagi.

Ada harga yang melekat hanya dalam bercerita. Tapi, aku tidak pernah percaya bocoran. Ini tentang perjalanan. Ini tentang kisah mencapai akhir.

Awalnya, aku tidak berpikir akan pernah menganggap diriku. Aku tidak pernah menerbitkan tulisan serius selain olok-olok sebagai puisi (seperti artikelku sebelum ini). Aku tidak pernah membuat karya yang substansial atau monumental. AKu tidak pernah benar-benar fokus untuk benar-benar menceritakan sebuah cerita secara tertulis. Jadi, kupikir dari situlah keraguan ini berasal. Keengganan untuk berkomitmen pada sesuatu yang saya tahu adalah di luar pemahamanku sendiri. Keraguan bahkan sebelum satu karakter pun, apa pun, muncul di halaman layar. Sebuah ketakutan akan penghakiman. Dan itu adalah sesuatu yang sangat kukenal. Takut bagaimana orang lain melihatku. Khawatir mereka akan melihatku sebagai aku.

Menengok ke belakang, ada contoh gangguan kecemasan sepanjang hidupku. Insomnia akut.

Kata-kata 'penyakit mental' tidak pernah digunakan sampai universitas, tapi itu selalu ada, itu pasti. Pada usia lima  tahun, ibuku harus meminta tetangga untuk membantu menyeretku dari rumah ke dalam becak karena aku berjuang keras untuk tidak pergi ke dokter padahal demam tinggi.

Tapi ada saat-saat aku belajar menjadi orang kuat.

Umur enam tahun aku menjadi tak takut kepada anjing karena untuk les piano aku melewati penjagaan enam ekor herder penjaga asrama putri tempatku belajar. Pernah ibu menghukumku-entah untuk apa, aku tak ingat-dengan mengurungku di gudang gelap, dan sejak itu, mekanisme pertahananku melatihku untuk tidur dalam gelap gulita tanpa cahaya.

Meski banyak kisah masa kecilku, tidak banyak kenangan yang tersimpan. Tidak ada kilas balik. Aku mengingatnya karena kisah-kisah ini diceritakan kepadaku sebagai anekdot tentang bagaimana aku tumbuh sebagai anak yang pemalu. Aku tidak benar-benar memiliki ingatan tentang masa kecil itu. Dan sementara aku bisa membacakan potongan untuk membuatnya tampak traumatis, itu tidak benar-benar terasa seperti itu.

AKu memiliki kenangan berlatih membaca puisi dan menyanyi dengan ibu di dapur.Dia bersajak dan aku mengikutinya. Atau menggambar di buku gambar sementara ayahku menulis dan mengetik, hari yang berpuncak pada makan martabak dan sate padang yang di dorong dalam gerobak, kacang rebus atau putu mayang yang siulannya membuat semua orang menoleh ke jalanan.

Jadi, bagaimana aku bisa menawarkan tulisan yang kompeten kepada pembaca (dan sesama penulis), ketika sebagian besar ingatanku hanyalah cerita yang diceritakan kembali kepadaku?

Sejauh yang aku tahu semuanya benar seperti yang kuingat, tetapi apakah itu benar-benar menjadikannya kisah nyata? Dan untuk memberikan kualitas dengan cara memiliki alur cerita, tujuan, rasa penasaran, tampaknya di luar potensiku. Setiap kata yang kubayangkan menjadi suara di layar laptop membawa beban harapan, dan itu akan menghentikanku untuk menulis apa pun. Aku hanya ingin tulisanku dibaca. Syukur kalau disukai.

Aku ingin dianggap. Aku ingin menjadi baik. Aku terkunci dalam diriku sendiri. Sangat ingin menawarkan sesuatu yang berharga namun takut gagal jika aku mencoba.

Kecemasan membuatku percaya narsisme yang membuatku percaya bahwa berbicara tentang hidupku akan membuat cerita yang menarik. Tapi, aku kira selalu ada sedikit ego tentang siapa pun dengan masalah kesehatan mental (kecemasan dan depresi dianggap egois), untuk menempatkan emosi seseorang di atas situasi, baik disengaja atau tidak. Tetap saja aku duduk, duduk diam, lumpuh oleh pikiran bahwa aku punya banyak namun tidak punya apapun untuk ditawarkan. Pembaca membuatku takut.

Tidak. Aku tidak menganggap diriku seorang penulis, tetapi kecintaan pada kata-kata yang membuatku menulis. Ketika semuanya bermuara pada itu, dalam menulis aku dapat mengekspresikan apa yang kuinginkan.

Ini sebuah klarifikasi. Sarana untuk meraba-raba melalui labirin pemikiran.

Aku selalu terpikat oleh ide menulis sesuatu yang fantastis, sesuatu yang bermakna. Tapi itulah mengapa aku menatap layar kosong. Aku tidak melihat nilai-nilai dalam diriku. Aku tidak melihat nilai dalam apa yang bisa kutawarkan. Meski ingin menjadi sempurna. Aku ingin menciptakan tujuan.

Tapi apa yang kugunakan adalah ocehan panik dari keputusasaan murni. Membiarkan energi tengah malam berfungsi sebagai bahan bakar kreatif.

Di larut malam, ketika kegelapan memasuki ruang pikiran, rasanya seperti apa saja bisa menyala.

Sebuah ruang yang begitu sunyi, satu-satunya hal yang harus difokuskan adalah klik pada papanketik, embusan napas lembut istriku yang sedang tidur, detak jantungnya yang ritmis.

Tapi, setidaknya aku bisa menawarkan sesuatu. Di situlah aku bertolak. Tidak ada pengungkapan besar. Tidak ada akhir yang mengejutkan.

Kata-kata telah ditulis, seperti yang kita ketahui. Makna dari itu semua hanya dalam penemuan diri, kepuasan pindah dari zona nyaman dan melangkah ke sesuatu yang berbeda sama sekali.


Bandung, 19 Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun