Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mukjizat

19 Maret 2022   10:00 Diperbarui: 19 Maret 2022   10:10 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali lagi dia kalah.

Di suatu tempat yang jauh dari sana, darinya. Dia menjerit kesakitan, tapi itu bukan Udin-nya, bukan putranya. Itu adalah yang lainnya, Mukjizat, yang mereka cintai saat anak laki-lakinya perlahan-lahan sekarat. Secara kiasan.

Bukan lagi kiasan sekarang.

Pria itu masih mengenakan kostum ketat biru, tetapi dia telah kehilangan topengnya. Dan itu memberinya sedikit kenyamanan, melihat wajah anaknya di balik itu semua. Mata yang tampak agak terlalu besar untuk wajahnya, hidung yang berdarah.

Lututnya tertekuk, dan dia menutup pintu di belakangnya, memastikan bahwa setiap jendela digelapkan, sebelum menyalakan lampu dan melihat.

Sama sekali tidak bagus.

Ketika dia adalah Mukjizat, Udinnya nyaris sempurna. Dia berbicara dengan nada yang lebih dalam, tersenyum terus-menerus, membelai rambutnya dan mencium pipinya. Mukjizat sopan dan menarik dan murah hati. Dia mencari siapa pun yang membutuhkannya, siapa pun yang bisa dia selamatkan.

Dia juga siap untuk bertarung. Melawan bayang-bayang, satu-satunya yang bisa dia lihat. Dia pasti akan mendapat masalah nyata di beberapa tempat.

Dan orang-orang menyukainya karena itu, dan setiap kali mereka bersorak, setiap kali mereka meminta lebih, dia bisa melihat Udin kehilangan sebagian dari dirinya.

"Ma," katanya, dan dia bergidik. Udin tidak memanggilnya Mama. Dia tidak pernah memanggilnya seperti itu, tapi dia akan belajar menerimanya, hidup dengan itu.

Mama adalah kata asing. Mama, Mam, Ma. Sebagian dari dirinya bersyukur, menjauhkan diri dari pria seperti itu, dari makhluk seperti itu.

Ada sesuatu tentang Udin yang asli dalam tatapannya. Dia terluka. Tapi tidak ada luka yang terlihat nyata, hanya luka di kostumnya yang berwarna cerah, bercak hitam dan merah yang mengubah biru mengkilap menjadi ungu tanpa jiwa.

Hidungnya tidak lagi berdarah, kekuatan penyembuhan sedang bekerja. Namun ada sesuatu yang salah.

Selalu ada masalah dibalik kemudahan. Atau begitulah dia berkata pada dirinya sendiri. Ada masa sebelum Udin, ketika dia masih muda dan dunia aman, ketika belum ada Tembok.

Batas telah digambar di peta. Mungkin semacam pelindungan. Mungkin lebih dari sekadar kata, tetapi tidak nyata.

Dia ingin percaya. Bagian luar tidak selalu gelap dan berbahaya seperti neraka. Dia telah menceritakan kisahnya kepada putranya, ketika Udin masih kecil. Kisah-kisah tentang saat-saat ketika manusia-manusia seperti dia masih ... manusia. Ketika harapan akan rumah yang lebih besar dan mobil yang lebih bagus dan tidak khawatir tentang aanya makanan setiap hari.

Dan Udin, anak muda yang cerdas, telah mengajukan pertanyaan yang ditakutinya. Dan dia mencoba untuk tidak menjawab, dan itu saja sudah cukup.

Tapi telah terjadi, sayangku, pikirnya saat itu. Dia berpikir lagi kini.

Kamu mungkin tidak membangun tembok, Kamu mungkin tidak bersalah karena mengubah bentuk mereka yang masih mengintai di luar sana, tetapi kamu membuatku tumbuh dewasa. Menua. Sedih.

Dengan gerakan cepat, dia menempatkan dirinya di sebelah anaknya, mencoba menopangnya dengan tubuhnya. Dia kecil di sebelah Mukjizat, tidak begitu ketika dia hanya Udin biasa. Mungkin karena sikapnya. Cara dia membungkuk ketika dia menjadi dirinya sendiri, ketika dia mengenakan pakaian abu-abu yang harganya hanya sebagian kecil dari harga kostum biru yang dia suka. Cara dia berbicara lebih lembut, seolah-olah dia takut seseorang akan mendengarkan dan melihatnya.

"Kau begitu istimewa, Udin," mungkin dia pernah berkata padanya suatu saat.

Dia memapahnya sampai ke kasur kecil yang menempati hampir separuh kamar. Kamarnya. Dia melambat di tengah jalan, terpincang-pincang, mengerang pelan dan membiarkan dirinya jatuh ke lantai.

"Ma," lagi, dan itu adalah rengekan yang menyedihkan, tangisan seorang anak minta tolong. Suaranya masih suara Mukjizat, tetapi, untuk pertama kalinya, dia bisa melihatnya sebagai putranya.

"Apa yang terjadi?" tanyanya.

Perlahan, dia berlutut di sampingnya. Sendinya nyeri. Seluruh hidup membungkuk, kembali ke lantai ketika semua yang dia ingin lakukan adalah bangun dan pergi. Hidupnya yang terbuang untuk menjaga pria yang menjaga kota mereka.

"Aku melihat mereka."

Tidak banyak lagi yang bisa dikatakan. Mata Udin masih kosong, tatapannya tidak mampu menetap pada satu fokus, tetapi tangannya mencari tangannya. Dan dia membiarkan tangan putranya menemukan tangannya, meremasnya dengan kekuatan yang tampaknya tidak pada tempatnya, bahkan pada manusia yang lebih kuat sekalipun.

Kekuatan yang goyah sedetik kemudian.

Terkejut, dia melihat lagi ke putranya. Lukanya sudah sembuh. Selalu. Yang tersisa hanyalah darah kering, tetapi kulitnya menjadi pucat, agak kekuningan, dan dia berkeringat dan mengerang tanpa sadar.

"Apa... Apa yang terjadi, Udin?" tanyanya lagi.

Dia tidak mengoreksinya. "Namaku Mukjizat," dia biasanya akan mengatakan, tapi kali ini dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menjilat bibirnya sebelum kehilangan genggaman tangannya.

"Aku melihat mereka. Aku melihat Bayangan."

Dia terdiam sesaat. Lalu, "Aku juga sudah memberitahumu. Mereka tidak-"

Nyata.

Mereka tidak nyata. Mereka tidak bisa nyata.

Orang-orang seperti Udin cenderung mencari kompensasi. Kemasan yang bagus, mungkin. Dia menjadi Mukjizat, sama seperti ayahnya sebelumnya. Mendobrak dinding atau mengangkat mobil tetangga, hal-hal yang disukai orang karena mereka tidak perlu membayar ongkos setiap kali terjadi.

Dia sangat mirip dengan ayahnya. Melihat sesuatu dan mendengar sesuatu tapi tidak mampu memahami sesuatu.

"Aku sudah melihatnya, Ma. Aku bersumpah."

Napasnya terengah-engah. Tubuh meringkuk, kulitnya lembab, dan bibirnya merah. Dan dia terbatuk, kali ini berdarah.

"Mereka membunuhku," gumamnya. Untuk pertama kalinya sejak dia sampai di rumah, dia menatapnya. "Mama. Saya minta maaf." Dan untuk sesaat, dia pikir dia bisa melihat masa depan. Menit, jam, hari penderitaan.

Udin kecilnya berubah menjadi Mukjizat: berantakan, kotor, muntah dan berdarah.

"Apa yang bisa Ibu lakukan?" tanyanya, meskipun dia tahu jawabannya.

"Pergilah ke luar Tembok," katanya. "Pergi ke sisi lain. Temukan Pembuat Jam dan minta dia untuk memperbaiki... ini."

Dia adalah orang yang menceritakan kisah itu.

Dahulu kala, ketika ada seorang anak kecil yang tidak berbicara dengan siapa pun, seorang ibu tunggal bekerja untuk menemukan cara agar mereka dapat bertahan hidup. Ketika Tembok masih semuda yang dia inginkan, ketika bekas luka dari segala sesuatu yang terjadi di sisi lain masih segar.

Tembok itu ada karena suatu alasan, dia ingat pernah berkata begitu. Dia tidak sanggup memaksa dirinya untuk memberitahunya lagi.

"Aku sudah mencoba, Ma," bisiknya. Dan kemudian menjerit.

Lengannya tampak hidup. Makhluk aneh yang menempel di tubuhnya mencoba menghancurkan segala sesuatu di sekitar mereka. Dan, untuk sesaat, dia bisa melihatnya -- bayangan yang bersembunyi di balik matanya, di dalam tubuhnya. Sesuatu yang berbahaya, racun yang menyebar dan mengambil alih kendali.

Dia sangat mirip dengan ayahnya. Seperti yang lain di luar Tembok.

"Kamu sudah mencoba," dia mengakui dengan lembut sebelum pergi ke kamarnya.

Cepat atau lambat, mereka memberitahunya, ketika mencoba mengambil bayinya, cepat atau lambat dia akan berubah juga.

Dia akan menjadi salah satu dari mereka, kata mereka.

Dia memohon dan menangis, dan ketika itu belum cukup, dia akan lari. Dengan dia. Udin. Mukjizat nya.

"Aku memang menceritakan kisah itu padamu, ya?" renungnya, membuka laci yang selalu tertutup. Ada beberapa anting-anting di sana, dan cincin emas yang jauh lebih murah daripada yang terlihat. Dan potret, dan pistol.

"Pembuat Jam di luar Tembok. Yang membuat waktu kembali," katanya keras-keras sambil menutup laci.

Di ruangan lain, suara pukulan telah berhenti.

"Aku berharap aku bisa pergi dan menemuinya. Bicara padanya." 

Mau pergi ke mana?  

"Maaf," katanya pada dirinya sendiri, menodong kepala pria itu yang kini diam.

Dia menarik pelatuknya, dan darah gelap Udin merembes menembus kasur dan muncrat menodai dinding.

"Sebelum terjadi lagi."

Bandung, 19 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun