Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat Masa Kecil

13 Maret 2022   19:01 Diperbarui: 13 Maret 2022   19:06 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari samping, pria di depanku di antrean kasir tampak seperti sahabat masa kecilku, Sulaiman. Terakhir aku melihatnya beberapa puluh tahun silam. Tapi kupikir orang ini terlalu tua.

Dia sepertinya merasakan tatapanku dan balas menatap. Aku baru saja pulang dari meeting dengan seorang klien penting mengenakan setelan kerja, sangat kontras dengan pakaian pria ini yang lusuh. Rambutnya yang gondrong dan kusut membuatku merasa seperti baru saja keluar dari tukang cukur.

Dia membuka mulutnya sedikit, seolah ingin berbicara, tapi kemudian dia berbalik.

Aku bertanya-tanya apa yang ingin dia katakan. Aku rasa dia memang Sulaiman.

Kami tumbuh besar di jalanan yang sama. Kami berjalan ke sekolah dasar dan sekeloah menengah bersama-sama. Ke surau yang sama.

Semua orang menyukai Sulaiman. Dia cerdas, baik hati, dan lucu.

Dia juga punya mimpi besar. Ketika kami masih kecil, Sulaiman ingin menjadi pilot. Ketika kami masih remaja, dia memberi tahu kami bahwa dia akan menjadi Presiden. Tidak ada yang meragukannya. Tahun terakhir di SMA, Sulaiman adalah ketua kelas kami. Polling kelas memilih dia yang paling mungkin berhasil.

Tepat setelah kami lulus, ibu Sulaiman mengalami serangan jantung dan meninggal. Dia hancur. Dia tampak berubah dalam semalam. Sulaiman selalu suka berteman, tapi sekarang dia menyendiri.

Liburan setelah kelulusan, aku mampir ke rumahnya, tetapi dia menolak bertemu denganku. Aku tidak kaget ketika dia tidak kuliah pada tahun itu.

Tapi aku tidak berharap dia menghilang. Aku belum pernah melihat Sulaiman lagi selama empat puluh tahun, tapi aku sering memikirkannya dan berharap dia baik-baik saja.

Mungkin itu hanya angan-angan, tapi pria di depanku ini benar-benar terlihat seperti versi lansia dari teman masa kecilku.

"Sulaiman?" kataku.

Tubuhnya menegang, tetapi dia tidak berbalik.

"Sulaiman, ini kamu, ya?"

Dia tidak menjawab. Dia meletakkan belanjaannya di depan kasir. Tidak ingin mengganggu, aku tidak mengatakan apa-apa lagi.

Beberapa saat kemudian, kasir menyerahkan struk pembayaran kepadanya.

Saat dia mendorong keranjang belanjaan, dia berhenti dan kembali menatapku.

"Mahiwal," katanya sambil mengangguk dan tersenyum kecil penuh arti.

Kemudian dia mendorong trolinya dan pergi.

Bandung, 13 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun