Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Negara yang Hilang

6 Maret 2022   22:00 Diperbarui: 6 Maret 2022   22:24 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sentimen jelas harus disingkirkan
seperti gadis dengan rambut panjang kotor
dikira tergeletak dilempari batu  
di bangku taman
mungkin pada tahun 1965
bahkan mungkin terungkap kemudian
itu adalah ibu
bersantai setelah demonstrasi
dalam cahaya hangat musim kemarau
bulan juli priangan

sesuatu yang jauh lebih gelap
seperti ungu darah dekat yang dibuat henna
benang tenun
dekat aristokrat
menjadi lanun pertama di sebelah losmen
bir setara dengan seringgit,
di negara yang tidak ada
jika bertanya kepada seorang anak sekolah
mereka akan berkata, di mana itu?
kamu mengarang nama itu?
tunjukkan pada kami di peta
dan garis yang memisahkannya dari negara lain
telah menghilang.

kamu mengklaim sekarang menjadi bagian 

dari ruang kosong
tentu saja, kamu tidak akan memberi tahu anak-anak
bahwa orang yang mengaku berasal dari sana
telah meninggal sekarang
sebagian menghilang di kuburan massal
tempat sebagian besar abad terakhir
orang-orang itu akan memberi tahumu sebagai tanggapan
dari mana mereka berasal
dari sebuah nama yang sekarang tidak berarti apa-apa
bagi banyak orang
nama mereka sendiri tidak berarti apa-apa

mengenal begitu banyak
pria dan wanita dalam hidupku
menemukan mereka di kedai-kedai
tidak banyak membicarakannya
atau terkadang kisah-kisah luar biasa
tentang nyawa yang hilang
pembayaran tunjangan
pekerjaan merentangkan kabel listrik
melintasi padang rumput dan tanah kosong
kelelahan

menemukan orang-orang itu di lapak-lapak
pinggiran kota
terutama yang kukunjungi kembali sekarang
tak redup seperti beberapa orang
diterangi lampu-lampu listrik dengan nuansa kuning
di sepanjang dinding,
mekar penuh di atas jeruji

barisan panjang bangku kayu dan kios papan
dengan sofa empuk berwarna merah
grafiti dalam abjad romawi dan arab
diukir di meja dan pegangan tangga
lantainya tergores sepatu seabad lebih

pria gladiator berkaki pasti dan lembut
menuangkan gelas penuh
untuk mantan patriot pemberontak, tentara bayaran
yang kubayangkan, atau mungkin
aku meromantisasi kedai ini
di tahun-tahun yang telah mengubah asap rokok
naik dari kepalan tangan tertutup
menjadi kerah kemeja payet gadis dengan aksen Sunda
dan anting-antingnya terbuat dari emas
seperti yang dipakai gadis Gipsi
dan saat itulah aku percaya
perhiasan di tempat itu menjadi politis
yang dikenakan di telinga membuatmu terbunuh,
atau tulisan di kaos menandaimu sebagai orang asing

yang berlalu adalah yang tersisa
hujan berubah menjadi salju
bunga-bunga merah bangkit dari gundukan kematian

dia minum dan dia menari sendirian
di mata seorang pria yang tahu arti senapan mesin
lengan bajunya panjang dan jatuh
tangan yang terangkat
apa yang akan menjadi keberuntunganmu saat itu?

kameramu berjongkok seperti serangga kecil di lapak
berpaling dan berkata, di mana lalat berkerumun
tak mungkin ada kebahagiaan

matanya hijau.
matanya hijau!

dan ketika dia melingkarkan lengannya
mereka menoleh ke arahmu,
suara menghilang... lang... lang...

pidato asing petani penggembala kambing
makam kecil tempatmu tidur
membawa kita ke variasi kedua

tirai menutup kesaksian
kamu pikir hidupmu akan menyenangkan
tapi kota telah mempersingkat jam dalam sehari
berpura-pura mendaki sendiri
untuk semua yang kamu tahu
hanya ada musik yang tersisa.

sebuah kedai dengan pintu terbuka,
dialek variasi kedua
tidak pernah memiliki kemeja
tidak sekali
tidak penting

ini tentang jarak, pola, desain yang muncul dari keheningan
remaja atau masa kanak-kanak tak lagi penting
cerita menjadi di mana kamu berada
bukan di mana kamu ada,
sampai kamu menjadi acak
dataran tinggi dan makam penting
cipratan di kedai minuman yang pernah kamu cintai
losmen, debu di ambang jendela
terbangun menonton anak-anak menendang bola
di alun-alun desa
tempat-tempat umum almarhum segera

kemudian kita tumbuh bercahaya
putih susu
kesedihan hantu
hidupmu kecelakaan
selamat

garis besar yang telah dihapus
diisi dengan huruf acak
nama kesaksian seolah-olah pernah ada
suaka yang kembali
dewasa dan penuh kesedihan

sebuah kedai pojok
tempat seseorang menoleh ke arahmu
kaligrafi yang tiba-tiba mencuat
nomor yang tertulis di serbet
di negara tempat menyebut namanya
menyebut nama yang sudah tiada

Bandung, 6 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun