Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hijrah Duniawi

28 Februari 2022   21:46 Diperbarui: 28 Februari 2022   22:21 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika pagi menjelang bersama celoteh bahasa tubuh, mungkin kau mengambil sikap berjaga dan melakoni senam irama atau pidato upacara.

Sisik kulit tumbuh jadi daging berat lemak.

Kau mungkin mencengkeram lehermu sendiri. Kau pikir mungkin ini tak berarti sama sekali. Kau pikir mungkin jika wajah ditekan ke cermin akan memproyeksikan naluri kematian ke sisi lain.

Jika merasa samudera semakin dalam tanpa memindahkan bagian dari ucapan yang mengancam menghapus kulit jangat. Posisi yang kontradiktif. Tekanan bunyi tepat di bawah aras frasa.

Kau melihat gambar buram kabur keruh muram pudar suram. (Semacam belenggu?) Dan kau amati, betapa lambatnya getar tungau hijau terjerat getah di kaca jendela. Kau lihat halaman kosong lembar kertas surat kuasa sementara kematian yang membosankan hadir menerobos penghalang batas suara.

Kita masih belum dan tetap belum bisa menjelaskan tentang peran gangguan dalam bercinta, berhenti untuk menyedot rokok atau mengembus tata bahasa dengan lidah di dinding intim pipi gembul. Air garam dalam gelas. Kata sebelum jatuh membeli harapan.

Kau takkan bisa menghitung inflasi absolut. Kau tak bisa menjumlah aksara. Kau menjalaninya, menggeser tubuh sebagai referensi refleksi keping pecahan cermin kembali ke kertas dinding masa kanak-kanak, tanpa titik vokal yang mengkhianati asal usul manusia purba.

Bulu hidung rontok semayamkan benih renjana perindu pulang.

Jika senja melayang bersama aroma lelah jiwa, pastikan kau angkat tangan menyerah dan tengkurap pasrah mencium wangi pertiwi.

Bandung, 28 Februari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun