Kurang dari satu jam kemudian, dia meninggalkan rumah dengan kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda putih, bersinar seperti matahari musim panas dalam gaun sutra yang berkilauan dengan semua perhiasan emas dan nyala merah api hutan.
Dia tidak kembali malam itu, atau malam berikutnya. Saudara-saudaraku yang bersembunyi di obor-obor di dinding istana memberitahuku bahwa sang pangeran begitu terpesona oleh tamu misterius itu sehingga dia melamarnya sebelum dansa terakhir, dan dia menikahinya minggu berikutnya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, dan aku juga tidak terlalu peduli.
Dia pasti sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Dia tidak terlalu pintar, tetapi dia juga tidak bodoh untuk percaya bahwa sihir agung seperti itu gratis tanpa tumbal darah.
Keluarga tirinya tiba di rumah larut malam itu, mengeluh karena telah membeli gaun yang begitu mahal, kaki lecet, dan tidak ada pangeran yang mengajak mereka berdansa. Mereka membanting tubuh ke tempat tidur dan mendengkur dalam hitungan detik setelah muka dengan bedak tebal mereka membentur bantal.
Mereka tidak pernah tahu tentang bara yang menyala di bawah tempat tidur mereka dan di sudut-sudut ruangan yang tersembunyi.
Sudah lama sekali sejak aku menyantap manusia. Harus kuakui mereka lezat. Mereka akan selalu dikenang sebagai saudara tiri yang jelek, tetapi mereka sangat cantik saat terbakar. Kulit mereka menghitam setipis renda di gaun pengantin kerajaan, sebelum luruh menjadi abu.
Bandung, 22 Februari 2022