Apa yang paling dia sukai dari Rick? Cowok yang sangat jangkung, bintang bola basket di sekolah.
Saat menyantap menu vegetarian di Jl. Pajajaran, dia melamar sehambar makanannya, "Aku ingin menikahimu, bekerja di perusahaan multinasional, dan tinggal di sebuah rumah besar di Grand Parahyangan Garden."
Sebagai bintang bola basket idola, Rick bukan cuma bermimpi. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, dia berhasil mewujudkan ketiga-tiganya, berikut bonus sampingan.
Setiap hari Jumat, dia berbelanja di Setiabudi Supermarket untuk masakan vegetarian, tetapi akhir-akhir ini dia juga mampir ke Sultan Pizza.
Tidak lebih tinggi dirinya, Indra membungkuk dengan ramah dari belakang konter. Dulu teman sekelas, menyukai satu sama lain, tetapi Indra kalah cepat. Empat kali Jumat hanya untuk personal pizza, tidak lebih.
Akhirnya, alih-alih pizza, dia mengajaknya untuk ngopi. "Tak jauh dari sini."
"Tentu."
Orang-orang yang melihat mungkin menganggap mereka adalah pasangan suami istri. Dia tidak keberatan.
Duduk berseberangan dengan kopi di tangan, Indra berkata, "Aku senang kita bisa ngopi bareng. Senang bertemu lagi denganmu, tapi-"
"Kamu berharap aku datang lebih dari sekadar untuk pizza."
Indra mengangguk.
"Kamu berharap pizza dan seks."
Indra menelan. "Bukan."
"Bukan? Kamu sepertinya ingin mengajakku kencan waktu di kampus."
"Lebih dari sekadar kencan. Aku mencintaimu."
Dia berkedip. "Kamu mencintaiku?"
"Lebih dari yang kamu tahu. Kamu setiap hari ke perpustakaan, belajar sebanyak yang kamu bisa, membawanya sepanjang hidupmu. Kamu membuatku menginginkan itu juga. Meski aku tidak pernah mengajakmu kencan-"
"Kenapa enggak?"
"Kamu selalu bersama Rick."
Indra menatap cincin dijarinya.
Dia menutup matanya, mengembuskan napas panjang. "Ya, dia selingkuh dariku dan aku ingin selingkuh darinya. Aku khawatir dia akan membunuhku jika aku ingin berpisah dari nya. Masih mencintaiku?"
"Ya."
Menggeser kursinya ke samping Indra, dia membungkuk dan mencium pria itu. Lalu menyatukan sisa kopinya menjadi secangkir dan menyesapnya.
Dia berbisik, "Rick keluar kota Selasa sampai Sabtu. Jam berapa kamu tutup?"
"Sembilan malam."
Setelah Selasa, mereka melakukannya lagi Rabu dan Kamis.
Delapan hari kemudian, Rick mengejutkannya di resto vegetarian.
"Lupakan dietnya," kata Rick. "Ayo kita makan pizza."
"Kamu yakin?" dia bertanya dengan nada biasa.
"Aku ingin awal yang baru."
Lidahnya kelu.
"Ayolah," kata Rick. "Biar aku yang nyetir."
Dia setuju saja atau Rick akan curiga. Peluang dia untuk mendapatkan pizza di dekat rumah memudar saat Rick masuk ke parkiran Sultan Pizza.
Dia memegang pintu untuknya. Di dalam, dia mempelajari foto di dinding. "Orang ini pernah kuliah," bisiknya, "dan berakhir di sini? Lebih baik jangan buat dia malu."
Cara dia mengatakan menunjukkan mungkin dia tidak ingat Indra.
Ketika giliran mereka tiba, Rick memesan pizza ukuran besar. "Meatloaf."
"Setengahnya pepperoni-dan-sosis," tambahnya.
"Minum?" Indra bertanya, ramah seperti biasanya.
"Tidak," potongnya. "Kami akan membawanya pulang."
"Seratus lima puluh. Anda dapat membayar di kasir dan menonton saya membuatnya."
Meski kelihatan kalem, Indra pasti panik. Dia sendiri panik, kok.
Di rumah, Rick menawarkan untuk memanaskan kembali pizza, membiarkannya berganti pakaian.
Alih-alih dua puluh menit seperti biasanya, dia hanya ke kamar dua menit. Menyelinap kembali, dia merekam video dengan teleponnya dari ambang pintu saat Rick menabur racun tikus ke atas pizza.
"Aku minta cerai," semburnya.
Rick mengangkat tangan tanda menyerah sambil menghela napas.
"Baiklah."
Bandung, 22 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H