Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teman Baru

19 Februari 2022   08:43 Diperbarui: 19 Februari 2022   08:44 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fifi tidak ingat kapan mulai terjadinya, tapi akhir-akhir ini rasa percaya dirinya menurun. Bukannya dia berusaha menjadi pusat perhatian, tapi dia tidak lagi senang bertemu orang baru. Antara pensiun dini dan nyaris bangkrut, kepercayaan dirinya ikut menyusut.

"Keluar, temui orang-orang," kata adiknya Lili, melalui telepon pada suatu sore. "Kampung itu ada klub merajut dan jelajah alam," lanjut Lili.

"Gampang buat kamu," jawab Fifi. "Kamu sudah tinggal di sini selama dua puluh tahun. aku pendatang baru. Selain itu, kamu selalu pergi liburan."

"Omong kosong," kata adiknya. "Uni harus berbaur. Kampung itu orangnya ramah-ramah semua. Papan pengumuman penuh dengan kegiatan yang bisa Uni ikuti. Pilih satu yang Uni suka. "

Fifi tidak membantah. Dia yakin Lili ikut salah satu kegiatan itu. Namun, Fifi tidak tertarik dengan kelompok aktivitas di papan pengumuman. Dia tidak mengerti merajut atau menikmati berjalan-jalan di pedesaan. Lagi pula, bukan hari-hari yang ingin diisi Fifi. Malam hari paling sepi dan acara televisi tidak menghibur lagi.

Fifi telah melakukan hobi baru, tetapi semuanya adalah kegiatan yang menyendiri. Berkebun adalah favoritnya. Dia ingin mempercantik pondok kecilnya, yang tampak menyedihkan ketika dia membelinya. Dia menciptakan taman dapur hidup di pekarangan belakang dan membayangkan petak sayurannya yang menghadap ke pedesaan. Di bagian depan, dia menginginkan taman bunga klasik.

Malam tiba dan Fifi keluar untuk memetik seledri dari kebun untuk ditambahkan ke makan malamnya. Panasnya matahari masih terpancar dari bebatuan.

Saat Fifi membungkuk untuk memetik, dia mendengar bunyi gemerisik dekatnya. Dia menjadi waspada, matanya menerawang ke arah suara itu. Semak daun mint bergoyang seolah-olah ada sesuatu yang menerobos. Fifi menatap, daun seledri di tangan, saat sesosok makhluk muncul.

Dia menghela napas panjang dan menutup mulutnya.

"Ya ampun, kamu membuatku takut," katanya pada makhluk itu. "ternyata kamu seekor seekor kura-kura."

Kata-katanya lembut sudh terlambat, kura-kura yang ketakutan menarik kepala dan kakinya ke dalam cangkangnya. Karapasnya berpola indah berwarna hitam dan cokelat berpasir. Makhluk itu sebesar bola sepak.

Menarik napas dalam-dalam karena belum pernah memegang kura-kura sebelumnya, Fifi dengan berani mengambil binatang bercangkang itu.

"Kamu memang cantik," katanya, "tetapi kamu juga berat. Aku harap kamu belum memakan tanamanku.

Dari mana asalmu?"

Makhluk itu seperti menghela napas di dalam cangkangnya, tetapi tidak muncul.

"Kita perlu menemukan pemilikmu, tetapi pertama-tama kamu perlu nama."

Dia memperhatikan cangkangnya yang cantik dan teringat wajah keriput yang dia kenal sekilas. "Kamu terlihat seperti Mbah Karyo. Aku kasih nama kamu Karyo Kuya." Dia tertawa.

Malam itu Fifi berusaha membuat Karyo nyaman. Dia menggunakan kotak kardus mie isntan untuk kandang, menempatkannya di dapur dan melapisinya dengan koran. Di dalamnya dia menaruh sepiring daun tempuyung dan semangkuk air. Karyo tetap sembunyi dalam cangkangnya.

Menjelang pagi daun-daun itu telah menghilang. Jejak kaki kecil yang basah menandai koran tempat Karyo menginjak mangkuk airnya. Namun, dia kembali ke cangkangnya.

Fifi mengisi kembali makanan dan air Karyo sebelum berangkat untuk mencari dari mana dia melarikan diri. Dia mendatangi tetangga sebelahnya, mampir untuk minum teh dan biskuit.

Mereka tampak bingung tentang makhluk yang mengunjunginya. Gordi memberinya stek pohon mangga untuk membantu kebunnya, yang dia perhatikan sedang dibangun. Istri Gordi, Liana, bersikeras Fifi harus menerima tiga toples selai buatan sendiri dari dapur yang penuh dengan makanan.

Karena belum menemukan pemilik kura-kura, Fifi memperpanjang pencariannya sampai dia berbicara dengan semua orang di desa. Tidak ada yang tahu tentang kura-kura yang hilang, tetapi mereka semua mengundangnya untuk mengobrol. Pada saat dia pulang ke rumah, perutnya kembung dengan teh.

Fifi mampir di papan pengumuman di kantor desa. Tidak ada kelompok aktivitas yang menarik. Memikirkan malam lain sendirian juga tidak menarik.

Sesuatu yang merah terletak di rumput di antara papan pengumuman dan dinding kuburan, menarik perhatiannya. Saat Fifi berjongkok, dia melihat itu adalah mangkuk berisi daun selada. Tidak ada orang di dekatnya.

"Aku akan memecahkan misteri ini," gumam Fifi. "Pertama-tama, aku harus buru ke toilet setelah minum begitu banyak teh!"

Ketika dia sampai di rumah, Fifi menemukan Karyo telah memakan makanannya dan minum airnya sebelum kembali bersembunyi ke dalam cangkangnya lagi.

"Kamu malu, ya?" katanya pada Karyo. "Jangan khawatir, seseorang menginginkanmu kembali dan aku akan mencari tahu siapa."

Fifi duduk di kursi di taman depannya yang masih berantakan. Dengan teropong, dia melihat seorang wanita tua mendekati mangkuk selada saat senja. Dia mencegat orang asing itu.

"Halo!" dia menyapa. "Apakah itu umpan kura-kura?"

Wanita berambut putih kurus itu menegakkan tubuh, memegang mangkuk. "Hai. Ya, betul. Saya tinggal di kampung sebelah dan saya memelihara beberapa kura-kura. Sayangnya, satu melarikan diri. Dedes selalu menjadi pembuat masalah. Apakah Anda melihatnya?"

Fifi mengangguk dan menjelaskan keseluruhan cerita kepada wanita itu, yang terkekeh.

"Syukurlah kamu menemukannya. Omong-omong, namaku Kristin."

Fifi memperkenalkan dirinya.

Kristin ingin membawa pulang Dedes. Begitu Kristin berada di dapur, si kura-kura keluar dari cangkangnya. Mata hitam Dedes berbinar dan Fifi mengira dia memang nakal.

"Saya memelihara hewan peliharaan eksotis. Kura-kura macan tutul bisa hidup sampai seratus tahun dan menjadi lumayan besar. Seringkali mereka perlu mendapat rumah baru jika pemiliknya tidak bisa merawat mereka lagi." Kristin tersenyum. "Mungkin kamu ingin berkunjung ke tempat saya? Kamu tampaknya memiliki bakat untuk merawat reptil. "

Fifi sangat senang.

***

Lili menelepon malam itu, tapi sebelum Fifi bisa menceritakan petualangannya, terdengan suara pintu depan diketuk.

"Aku harus pergi," kata Fifi.

"Ke mana?" adiknya terdengar tersinggung.

"Seorang teman datang untuk menjemputku. Kami akan minum kopi dan mermain dengan reptil," kata Fifi. Dia tersenyum sambil mematikan teleponnya.

Bandung, 19 Februari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun