Kata-katanya lembut sudh terlambat, kura-kura yang ketakutan menarik kepala dan kakinya ke dalam cangkangnya. Karapasnya berpola indah berwarna hitam dan cokelat berpasir. Makhluk itu sebesar bola sepak.
Menarik napas dalam-dalam karena belum pernah memegang kura-kura sebelumnya, Fifi dengan berani mengambil binatang bercangkang itu.
"Kamu memang cantik," katanya, "tetapi kamu juga berat. Aku harap kamu belum memakan tanamanku.
Dari mana asalmu?"
Makhluk itu seperti menghela napas di dalam cangkangnya, tetapi tidak muncul.
"Kita perlu menemukan pemilikmu, tetapi pertama-tama kamu perlu nama."
Dia memperhatikan cangkangnya yang cantik dan teringat wajah keriput yang dia kenal sekilas. "Kamu terlihat seperti Mbah Karyo. Aku kasih nama kamu Karyo Kuya." Dia tertawa.
Malam itu Fifi berusaha membuat Karyo nyaman. Dia menggunakan kotak kardus mie isntan untuk kandang, menempatkannya di dapur dan melapisinya dengan koran. Di dalamnya dia menaruh sepiring daun tempuyung dan semangkuk air. Karyo tetap sembunyi dalam cangkangnya.
Menjelang pagi daun-daun itu telah menghilang. Jejak kaki kecil yang basah menandai koran tempat Karyo menginjak mangkuk airnya. Namun, dia kembali ke cangkangnya.
Fifi mengisi kembali makanan dan air Karyo sebelum berangkat untuk mencari dari mana dia melarikan diri. Dia mendatangi tetangga sebelahnya, mampir untuk minum teh dan biskuit.
Mereka tampak bingung tentang makhluk yang mengunjunginya. Gordi memberinya stek pohon mangga untuk membantu kebunnya, yang dia perhatikan sedang dibangun. Istri Gordi, Liana, bersikeras Fifi harus menerima tiga toples selai buatan sendiri dari dapur yang penuh dengan makanan.