Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cawan Petri

2 Februari 2022   21:29 Diperbarui: 2 Februari 2022   21:35 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama dua tahun dia bekerja di laboratorium kecil tanpa jendela. Bau bahan kimia yang menempel di pakaiannya setiap malam saat dia meninggalkan lab. Ruangan itu terletak di relung terjauh dari gedung kampus. Hanya sedikit teman atau kolega yang pernah mengunjungi sang ilmuwan dan tidak ada yang mengisi hidupnya selain pekerjaannya.

Mesin-mesin yang tampak steril berjajar di meja-meja marmer gelap sementara cawan petri berbaris rapi dan teratur, berisi sel-sel yang diinkubasi.

Dinding di atas meja kayu murah dan bernoda tergantung poster Alexander Fleming, penemu penisilin,, yang menatap ke seberang ruangan. Di atas meja, di buku catatan penuh coretan, tegak foto ayahnya yang telah meninggal karena tumor ganas dua tahun lalu dalam bingkai plastik. Di kursi, duduk sang ilmuwan yang bekerja dengan bayangan menakutkan bahwa dia akan menjadi yang berikutnya.

Selama dua tahun, dia dengan hati-hati merawat cawan bening yang memeriksa efek ekstrak kimia pada sel. Setiap minggu, dia menyaksikan sel-sel kanker yang terkandung di cawan berlipat ganda dalam noda gelap di seluruh dunia plastik datar, serangan tanpa akhir yang dia lakukan pada mereka tak mempan.

Malam ini telah sangat melelahkan. Dia telah menjalani hampir setiap kombinasi perawatan yang bisa dia bayangkan. Sambil menenggak isi terakhir air mineral kemasannya dan membuang pisang yang dimakan separuh ke tempat sampah, dia memakai mantelnya, mengunci pintu dan menyeret tubuhnya yang lelah ke lorong. Berhenti sebentar, dia menghela nafas dan berjalan kembali ke lab.

Jumat malam, pikirnya, pastikan pintu itu tidak terkunci untuk petugas kebersihan. Mereka lebih baik membuang sampah kali ini.

Dia tahu dia butuh tidur panjang yang nyenyak, tapi dia juga tahu dia akan kembali lagi besok pagi.

Dia akan terus mencoba. Dia hanya membutuhkan keberuntungan sekali dalam hidupnya. Membuka kunci pintu dan memasukkan kunci kembali ke dalam sakunya yang usang, dia kemudian berbelok ke lorong lagi.

Di sudut lab, di kantong merah di antara sejumlah eksperimen yang gagal, satu cawan berisi sel hitam. Di cawan itu, di tengah-tengah bidang sel hitam lainnya, ujung kulit pisang bertemu. Satu titik putih telah tumbuh di sana sebagai bintang tunggal di langit malam di mana beberapa senyawa dari pisang telah digabungkan dengan ekstrak ilmuwan yang gagal. Inilah prototipe obat kanker yang mujarab.

Terdengar gemerisik datang ke pintu lab. Seorang pria yang sedikit kelebihan berat badan mengenakan seragam petugas kebersihan dengan semburan musik yang bocor dari headphone-nya memasuki ruangan.

Berhenti sebentar untuk melihat foto dalam pigura di atas meja, dia menaikkan volume sambil menarik tas merah dari kaleng sampah dan melemparkannya ke dalam troli untuk selanjutnya menuju ruang pembakaran.

Bandung, 2 Februari 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun