Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kakek Melarikan Diri

26 Januari 2022   18:14 Diperbarui: 26 Januari 2022   18:15 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: flickr.com

Dengung televisi, obrolan di ponsel, dentuman bas dari musik yang tak henti-hentinya membuat Hanung gelisah. Penglihatannya yang semakin berkurang, pinggulnya sakit, tapi pendengarannya tetap baik-baik saja.

Salah satu lelucon kecil yang dimainkan Tuhan pada orang tua, kata Hanung pada dirinya sendiri.

Dia berharap bisa memberi tahu Kinasih, istrinya selama lima puluh dua tahun, lelucon kecilnya itu. Tapi kahwatir seseorang akan menemukannya berbicara sendiri, dia melarikan diri dari hiruk pikuk penuh kasih sayang di rumah putrinya.

Dia menuruni tangga dengan gaya berjalan menyamping seperti kepiting tua. Kedua kaki di setiap langkah, satu tangan mencengkeram pagar. Marcel Duchamp descendant un escalier ... Terkutuklah Duchamp.

Saat dia membuka pintu belakang, dia menganggap bahwa keuntungan utama dari usia adalah orang-orang tidak memperhatikanmu. Dia tidak akan dicari sampai waktu makan malam. Mungkin Deandra akan disuruh oleh ibunya untuk memastikan dia baik-baik saja. Deandra akan melihat dia tidak di kamarnya, lalu berteriak, "Kakek!" beberapa kali, menganggapnya sedang di kamar mandi, dan pada saat dia turun, seorang temannya akan meneleponnya dan lupa pada tugasnya.

Putrinya sendiri pasti sibuk menyiapkan makan malam atau hanya menikmati waktu untuk dirinya sendiri, akan lupa bahwa dia telah mengirim Deandra untuk mencarinya sampai makanan ada di atas meja.

Hanung berjalan melewati halaman belakang yang baru dipangkas, melewati tungku barbeque dan ayunan yang masih digunakan oleh Aryo, bocah sepuluh tahun, menuju pagar yang memisahkan penghuni rumah dengan "alam liar". Menggerak jarinya mengangkat kait di pintu pagar dan dia merasa bebas.

Burung-burung terbang dari pohon ke pohon dan tupai meloncat ke dahan-dahan yang lebih tinggi saat dia berjalan dengan susah payah melewati hutan kota, sedikit terpincang-pincang tetapi bertekad untuk tidak jatuh tergelincir. Dia ingat bagaimana Kinasih akan meraih lengannya karena takut sandalnya tersangkut di akar yang menonjol di tanah.

"Kenapa kamu tidak memakai sepatu ketsmu?" Kinasih akan bertanya.

"Kau tahu betapa aku benci sepatu yang tertutup."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun