Aku menatapnya. Dia balas menatapku dengan pupil kuning oranye yang dikelilingi oleh iris merah dan berubah menjadi cokelat saat aku menatap.
Bajunya berdesir, tampaknya seperti kejang, dan dia mengerang. Dia tertawa terbahak-bahak dan berbisik pada dirinya sendiri saat dia dengan panik menyemprot lubang menganga akibat peluru di kakinya. Dia mempertahankan kontak mata dengan saya dan terus bergumam seakan berdoa, sementara tangannya bekerja dengan cepat pada luka di kakinya.
Aku tidak tidak bahasa yang dia ucapkan, tetapi mengenali sifat binatang yang terpojok dari seorang prajurit yang gagal dalam menjalankan misi.
Bunyi klik dari alatnya, lalu tangannya berhenti bergerak. Dia mendesah tersenyum padaku dan rileks. Kelihatannya proses pengobatan telah selesai.
"Kamu bisa lari tapi kamu tidak bisa sembunyi." kataku padanya. Aku mendengarnya di film detektif malam sebelumnya.
Dan terdengar suaraku memantul kembali padaku dari mulutnya yang terbuka.
"Aku tak bisa lari. Tapi aku bisa sembunyi." Dia berkata padaku.
Wajahnya berubah dan tiba-tiba aku bagai melihat ke dalam cermin. Aku merasakan leherku bagai terbakar. Cairan merah menyemprot ke lantai ubin di depanku. Aku terkejut ketika menyadari bahwa itu adalah darahku sendiri.
Mendadak tubuhku lemas dan jatuh ambruk ke lantai. Dia meraih walkie talkieku, dan aku mendengarnya melaporkan kepada rekan kerjaku bahwa semuanya baik-baik saja.
Dan mendadak pandanganku menjadi gelap gulita.
Bandung, 21 Januari 2022