Jalanan kacau balau dengan penduduk desa yang melarikan diri dan Keti berjuang menerobos dengan tubuhnya yang kecil. Dia didorong dan didesak di antara kerumunan yang ketakutan sampai dia merasa tidak bisa bernapas.
Udara dipenuhi dengan jeritan tangis ibu-ibu yang mencari anak-anak mereka dan anak-anak yang berteiak memanggil orang tua mereka. Kekisruhan semakin tak terkendali ketika gerombolan pengacau semakin dekat. Keti menepi ke sebuah gubuk dan menaikkan kakinya ke jendela. Meski bertubuh kecil, gadis itu sangat gesit. Dia berhasil memanjat ke atap jerami, lalu berdiri dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia tercengang dan sekaligus kerakutan.
Api berkobar di seluruh penjuru desa. Asap hitam mengepul sampai di kejauhan. Tampak olehnya gelombang kegelapan, yang ketika semakin mendekat menjelma menjadi ratusan manusia berpakaian hitam dengan tombak, pedang dan perisai di tangan. Beberapa dari penyerbu menunggang kuda, sementara yang lain berkeliaran dengan wajah diolesi warna hitam.
Pedang dan tombak berkelebat, tubuh-tubuh terbelah bermandikan darah dan pasukan penyerang tertawa terbahak-bahak dengan riang. Mereka menyibukkan tangan dengan mencengkeram para perempuan dan menekan mereka ke dinding gubuk, menerobos masuk ke rumah dan keluar dengan makanan dan harta benda di tangan, menusukkan pedang ke penduduk desa yang menurut mereka tidak layak untuk dibiarkan hidup.
Bumi banjir darah. Ada tubuh anak-anak yang tidak lebih tua dari Keti mati terinjak-injak, mungkin oleh penyerang atau oleh kaki-kaki penduduk yang tempias melarikan diri.
Keti menyeka air matanya yang tumpah dan memutar kepala mencoba mencari jalur teraman ke gubuknya. Sebuah rencana terbentuk di benaknya, dia mengangguk pada dirinya sendiri dan turun, berlari seperti angin segera begitu kakinya menyentuh tanah.
Dia berlari dengan sekuat tenaga tanpa berhenti atau melirik kanan-kiri. Dari sudut matanya dia bisa melihat Lastri, perempuan muda yang sedang hamil anak pertama, memohon belas kasihan ketika seorang lelaki menodongkan tombak ke perutnya yang bunting bengkak.
Keti merintih dan menekan hasratnya untuk berhenti dan meringkuk di balik semak-semak.
Kakinya terasa bagaikan hendak lepas setiap saat, dadanya terasa berat. Anak panah mendesing melesat melewati telinganya, tetapi dia terus berlari. Tidak ada yang lebih penting dari ibu dan kakak perempuannya. Ayahnya telah berpesan dia harus menemukan mereka.
Gubuknya muncul di ujung jalan. Dia meluncur dan mendorong pintu dengan seluruh kekuatannya hingga terbuka, menabrak ibu dan saudara perempuannya yang dengan panik mengemasi barang-barang mereka.
"Suketi!" Ibunya berteriak dan berlari ke arahnya, merengkuh Keti dengan erat ke dalam pelukannya.