"Kamu sangat bagus." kata Draco.
"Lebih baik daripada penyihir palsu," katanya, terengah-engah.
"Berikan tanganmu."
Luna mundur, tetapi Draco berlutut di hadapannya, merendahkan perawakan tubuhnya yang jangkung.
"Apakah penyihir hebat takut dengan penipu jalanan?"
Luna mendengus dan menunjukkan telapak tangannya yang berdarah.
Air mata mengalir deras dari wajah Draco ke jari-jari Luna. Luka-luka di telapak tangan menutup dan napas gadis itu mereda saat noda darah menguap. Lingkar hitam gelap terlukis di sekitar mata Draco, seakan dia telah menjalani sepuluh ronde pertarungan tinju, sementara pipi Luna memerah dan kini bernapas dengan lega.
Draco mendengus. "Mereka tidak memberitahumu bahwa jika kamu menghabiskan daya sihirmu maka kekuatanmu akan lumpuh, sampai yang tersisa hanyalah beberapa kelopak untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Dan kenangan tentang apa artinya menjadi yang terbaik di kelas."
Draco membuka matanya. "Dan yang terakhir tidak ada gunanya."
Dia berdiri, membalikkan punggungnya, tersengal-sengal. "Lebih baik bergegas lari kembali ke sekolah, Penyihir. Lonceng di Menara Bayangan tanda pelajaran akan segera memanggilmu. Dan aku harus mempersiapkan pertunjukan sore. "
Draco batuk-batuk keras dan meludahkan dahak merah. Punggungnya melengkung dan gemetar. Dari pundak kiri jubah panjang yang sobek tampak sekilas lencana PENYIHIR 5 BINTANG yang lapuk berkarat.Â