jauh di bawah lereng licin curam seribu air mata
memadat mimbar sisi gunung
bingkisan duka cita yang hilang dalam diam
mata basah mengaduk harmoni dan---
kegelapan samar dunia bentuk
jauh melampaui penghiburan yang terlindung
air mata anak yatim menyapu pandangan Tuhan
jarak kesucian waktu yang terkuras
perkawinan cahaya, kekosongan, dan tali pusar
kegembiraan membumi kegembiraan teredam
semut memuat dan membongkar dan memuat, lagi
bumi tergeletak tanpa pakaian dalam sarung di alun-alun pasar
meracau di lubang hidung patung dewa cekikikan
daya pikat kuburan mengundang tarian seronok
bergulung tawa bayi yang baru lahir
bergema di seluruh alam yang belum terbentuk
kita melayang-layang, dipeluk jaring ovarium takdir
dengan bodohnya berjuang untuk tidak menjatah ransum
untaian asap tembakau di permadani bayu tak berujung
mengharap makna dari makna tanpa makna yang bermakna
jadi kita mengejar matahari yang tercerahkan
ke rumahnya untuk mencari cahaya
siapa yang menyemburkan kepulan kegelapan dari ketiaknya
musim semi di belakang kami, lagi
berpakaian seperti fajar baru yang dipintakan
tepuk tangan menyambut dan tatapan perpisahan
bumi adalah rahim, kuburan pintu masuk rahim
seperti talas segar dan berkilau diambil dari biji busuk---
dia harus bangun, harus tidur, karena begitulah dunia dikandung,
Bukan waktu
tetapi dalam waktu
kematian dan kelahiran
dan kehidupan
di antaranya
sekali lagi
Bandung, 11 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H