Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 39: Menjadi Gaudi

9 Januari 2022   07:37 Diperbarui: 9 Januari 2022   08:49 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria itu berdiri di ambang pintu kafe, menatap langsung dan tanpa mengharapkan balasan pada seorang gadis yang duduk tiga langkah darinya. Wajahnya yang monokrom terjepit di antara rambut keriting dan janggut berwarna merah yang disebut merah hanya karena itu bukan apa yang biasanya disebut cokelat.

Itu adalah wajah bingung, wajah penuh dengan kesalahan. Kesalahan yang sederhana dan majemuk. Kesalahan yang tampak dan terluput. Kesalahan yang membuat duka dan kesalahan yang menimbulkan murka. Kesalahan yang tak mungkin terhapus.

Alisnya bersatu menaungi matanya, membuat wajahnya cemberut abadi. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak longgar. Lusuh, tapi masih utuh.

Biasanya, dia duduk di meja dekat jendela kafe, tempat dia duduk sendirian berjam-jam. Tak pernah membaca buku. Tak seorang pun pramusaji yang pernah melihatnya bersama orang lain.

Gadis itu, umurnya sekitar dua puluh tahun, mengangkat wajahnya yang putih bersih dan dirias tipis rapi. Menunjuk ke dadanya dan mengangkat alis segarisnya setinggi mungkin, menekan beban perasaan yang berat, pria itu melangkah ke arah si gadis dengan langkah-langkah kecil lambat, tidak ingin mengusik atmosfer yang akan membuat gadis-gadis cantik menoleh kepadanya.

"Kamu Gaudi?" tanya si gadis.

"Gaudi?" pria itu membuang kata itu dengan embusan napas panjang yang kelelahan. Dadanya mengempis, bahunya turun drastis, dan pakaiannya tampak semakin melonggar saat dia menyusut di dalamnya. "Tidak, aku bukan Gaudi," katanya, nyaris tak terdengar. "Tapi aku ingin menjadi dia."

Tangannya tergantung layu, seolah tidak bisa lagi menahan tarikan gravitasi. Bagai patah pinggang lalu merosot ke sebuah kursi. Dari sana, dua belas kaki jauhnya, dia memperhatikan gadis itu. Jari-jarinya melebar dan mengerut di atas meja pualam. Tak lama kemudian seorang pria masuk, memperkenalkan dirinya kepada gadis itu, dan duduk bersamanya.

Gaudi ternyata pria muda yang tampan dengan rambut cokelat tua, kulit zaitun kecokelatan, dan mata hijau zamrud. Matanya teduh dan lelah, yang tak berubah ketika menatap gadis itu, sepenuh yakin bahwa dia bisa memilikinya jika dia mau.

Mata itu berkata, Hei, aku lelah, cobalah bangunkan semangatku, aku mungkin akan bangun. Mungkin bangun. Tidak, aku minta maaf, meski kamu mencoba, aku tidak bisa merasakan. Aku pengembara. Hei, aku lelah, berusahalah untuk membangkitkan gairahku.

Mata pria berambut merah itu berpindah dari si gadis itu ke Gaudi, dan tidak beralih dari Gaudi. Dia membayangkan bagaimana rasanya menjadi Gaudi.

Dia bisa merasakan minuman yang diminum Gaudi, melihat apa yang dilihat Gaudi, menghirup udara yang dihirup Gaudi. Dia telah melupakan sepenuhnya tentang gadis itu. Gadis itu hanyalah ilusi fatamorgana yang disebabkan oleh Gaudi, produk sampingan bukti ke-Gaudi-an di alam semesta ke-nonGaudi-an. Gadis itu hanyalah salah satu dari banyak hal yang akan terjadi padanya dalam kehidupan. Kehidupan di depannya, menjadi Gaudi. 

Gaudi adalah jawaban, sedangkan gadis itu hanyalah pertanyaannya.

Menatap dengan rasa ingin tahu yang besar, untuk menembus misteri menjadi Gaudi, untuk merebut dari Gaudi semua rahasia "How to be a Gaudi". Dengan menatapnya seolah dia menerima sinyal radio tersandi, seolah tatapannya yang begitu lekat, tidak mungkin mengganggu privasi Gaudi. Seolah-olah jika Gaudi membalas tatapannya, hanya seperti melihat ke permukaan cermin.

Dua Gaudi sama saja dengan satu Gaudi.

Sesuatu sepertinya menarik telinganya, menyentakkannya ke dunia Gaudi, sesuatu yang dengan lembut mencubit kulit di sekitar matanya menjadi kerutan kecil yang lelah.

Dia menahan diri, benar-benar diam, saat semacam busa muncul di permukaan meja dan menggoreskan lingkaran dan pusaran baru ke dalam sidik jarinya, mengubah DNA-nya.

Ketika matanya berubah, senyumnya mencuri perhatian orang-orang di sekitar.

Tak lama lagi, para pengagum akan berdatangan.

Bandung, 9 Januari 2022

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun