Dokter berkata bahwa air akan menyebabkan infeksi berkembang, dan dia mencoret-coret sesuatu di buku resep biru, yang dia berikan kepada ibuku. Aku harus minum dua pil sehari dan tetap kering. Ibuku melipat kertas resep dengan hati-hati, menyimpan di dompetnya, lalu memelukku dan berbisik bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa bunga itu tidak akan menumbuhkan akar.
Aku mengabaikan kata-katanya dan melenturkan buku jariku yang terikat perban.
Percik darahku menjadi amuba yang beringsut di tengah bantal, dan duri mawar yang diekstraksi tergeletak mati di antara pinset dokter.
Aku sangat bahagia ketika Tony menjejalkan bunga mawar ke tanganku.
Hari-hari berlalu dan perban mengering. Ujung-ujungnya bernoda kotoran hitam dan tetap saja ibuku tidak mengizinkanku mandi. Suatu pagi aku lupa menelan pil putihku, dan ketika aku menyendok sereal ke dalam mulut. Rasanya seperti mawar yang basah dan manis. Aku memungut keping sereal terakhir dari tepi mangkuk dengan jari, dan tidak memberi tahu ibu.
Tony menawarkan untuk mengantarku pulang dari sekolah saat aku sudah sehat kembali. Aku menjawab 'ya', berharap suaraku tidak bergetar karena gembira.
Tatapannya membuat tubuhku menggigil. Dia tersenyum lebar hingga matanya setengah terpejam, dan kami berjalan bersama saling bergandengan mengayunkan tangan. Aku tidak bertanya mengapa dia tidak pernah menelepon.
Di langit, awan kelabu tebal bergulung seperti kucing tidur, dan aku mengabaikannya sampai rintik hujan pertama menghantam trotoar.
Aku melesat ke bawah ceruk perpustakaan kota, dan Roger mengerutkan kening. Hujan mengguyur tempat parkir dan genangan air terbentuk di pelataran.
Tony meringkuk denganku sejenak, tapi kemudian dia melangkah keluar. Hujan membasahi kemejanya, gumpalan gel rambut mengalir ke dahinya. Dia memberi isyarat agar aku mengikutinya, menyeringai.