Tahun lalu, seluruh tulisanku yang berjumlah 52 ditolak oleh majalah sastra, koran lokal, dan buletin alumni. Maka, pada malam tahun baru kemarin aku membuat resolusi: tahun 2021 ini aku harus mendapatkan 100 kali penolakan.
Apa menurutmu aku aneh? Kamu perlu mengetahui alasannya mengapa aku membuat resolusi Malam Tahun Baru yang ganjil begitu.
***
Pertama kali aku membuat resolusi Malam Tahun Baru sepuluh tahun silam. Aku dan istriku akan merayakan Wedding Anniversary ke-17 kami dengan keliling Eropa.
Paspor diperpanjang. Visa diurus. Tiket pesawat dan hotel sudah dipesan.
Hanya dua minggu menjelang tanggal keberangkatan, aku menangkap basah dia dengan mantan pacarnya semasa SMA di sebuah hotel melati.
Bayangkan, hotel melati!Â
Keesokan paginya aku membakar tiket pesawat dan paspornya, menjatuhkan talak, mengurus perceraian ke pengadilan agama, memasang iklan menjual rumah yang kumiliki sebelum perkawinan dengan harga sangat murah. Dua minggu kemudian aku berangkat sendirian. Aku berkeliling benua putih di kamar-kamar hotel, mabuk, dan menangis setiap kali mendengar lagu atau menonton film. Termasuk lagu cadas atau film komedi.
Kembali dari Eropa, aku sudah pindah ke provinsi lain di luar pulau, menyewa pondok sambil membangun rumah baru yang jauh dari kota.
Malam Tahun Baru, aku membuat resolusi: tahun depan aku harus bahagia.Â
***
Rumah baruku hampir jadi. Aku berkencan dengan banyak wanita. Aku pikir aku bahagia.
Dan suatu pagi buta, terjadi gempa bumi dahsyat yang meruntuhkan rumah baruku. Aku bangkrut ditipu mitra bisnis. Perumpamaan yang pas untuk apa yang kualami saat itu, "jatuah tapai". Ini adalah ungkapan orang Minang yang maknanya mirip dengan "jatuh tertimpa tangga". Tapi menurutku, bobotnya jauh lebih berat dibandingkan jatuh tertimpa tangga. Tertimpa tangga sakit di badan, jatuh tapai sakit di perut yang kelaparan.
Di awal tahun baru, aku meninggalkan rumah baruku yang rata dengan tanah, berpindah pulau lagi. Aku tak membuat resolusi Malam Tahun Baru. Yang ada dalam pikiranku hanyalah menjadi gelandangan yang beristana di bawah jembatan.
Malam pertama menjadi pengembara jalanan penghuni kolong jembatan layang, aku mengalami kecelakaan. Sepeda motor yang ugal-ugalan menabrakku dari belakang, lalu kabur meninggalkan tanggung jawab, membiarkanku tergeletak dengan tulang kering retak.
Beralaskan aspal hotmix, sambil memandang langit tak berbintang karena tertutup awan mendung tebal, aku membayangkan apa yang akan ditulis di pusaraku.
Di sini berbaring gelandangan tanpa kenalan."
Menjelang pingsan, terdengar decit rem mobil yang memekakkan telinga, saking dekatnya. Lalu dunia gelap melebihi malam tak berbintang.
***
Aku tersadar di kasur pegas empuk ranjang king size. Di atas nakas sisi ranjang, secangkir teh masih mengepulkan uap menebarkan aroma harum semerbak mewangi yang mengobarkan semangat. Earl Grey ... atau Lady Grey?
Celanaku sudah berganti sarung. Siapa yang menggantikannya? Kakiku yang luka dibebat dengan perban. Samar-samar tercium bau antiseptik. Berarti lukaku sudah disterilkan.
Pintu kamar terbuka. Seorang wanita masuk membawa nampan.
"Sudah sadar?" tanyanya.
Aku mengangguk. Kepalaku berdenyut.
"Him, kamu kok bisa tergeletak di jalanan begitu. Sebaiknya nanti kita ke rumah sakit untuk memeriksa kakimu." Aku hanya berkedip. Dia menatapku.
"Astaga! Kamu enggak ingat aku? Aku Ghea! Kita dulu satu SMP."
Dan memori lama mengalir membanjiri kepalaku bagai film hitam putih yang diputar dengan proyektor seluloid 35mm.
Ghea. Gadis manis berkacamata seragam putih biru dengan rambut kuncir kuda. Dulu aku sering menggodanya yang dibalasnya dengan senyum tanpa suara. Di lorong sekolah, kantin, lapangan basket, laboratorium, perpustakaan. Tiga tahun dan hanya itu yang bisa kuingat tentangnya. Bukan 'hanya'. Itulah kenangan termanis bersamanya.
Dia tinggal sendirian. Tak pernah menikah karena merawat mendiang papanya yang sakit-sakitan. Lelaki cinta pertamanya itu meninggal setahun silam.
Singkat cerita, kakiku digips, dan Ghea mengizinkanku tinggal di rumahnya sampai sembuh. Dia bekerja sebagai guru honorer di sebuah Sekolah Dasar. Karena aku sering ditinggal sendiri, dia mengisi rekening tabunganku dengan uang 'sekadar'nya. "Supaya kalau kamu butuh sesuatu bisa pesan online,"Â katanya.
Sebagian uang itu kuputar di pasar modal. Bintang keberuntungan berada di atas kepalaku. Profit yang kudapat dalam enam bulan tergeletak di ranjang melebihi dari apa yang kuhasilkan selama tujuh belas tahun kurang dua minggu pernikahanku dengan mantan. Aku juga mengembangkan hobi baru dalam bidang menulis puisi dan cerpen. Awalnya, tulisanku hanya kuunggah di platform online.Â
Dan begitu bisa berjalan lagi, aku melamar Ghea. Kami menikah secara sederhana di KUA.
***
Akhir tahun 2019, aku membuat resolusi Malam Tahun Baru. Merayakan Wedding Anniversary kami yang ke-5 dengan berkeliling dunia. Belum lagi sempat mengurus paspor, visa, dan pesan hotel, pandemi melanda. Dengan begitu banyak waktu yang kuhabiskan di rumah, aku semakin rajin menulis. Setiap minggu, aku mengirim tulisanku ke berbagai media.
Ghea sendiri mempunyai bisnis baru dengan kamera DSLR yang kubelikan untuk hadiah ulang tahunnya: fotografi. Dia sering diminta untuk memotret bayi yang baru lahir dengan berbagai pose dan busana lucu. Atau foto makanan untuk menu kuliner online.Â
Saham perusahaan farmasi dan digital yang kubeli karena iseng malah membuatku menjadi triliuner baru. Hanya saja, dari 52 tulisan yang kukirim, tak satu pun yang dimuat.
Maka, pada malam Tahun Baru 2021, aku ingin membuat resolusi yang tak mungkin gagal: mengirim 100 tulisan yang akan ditolak oleh seluruh media.
***
Sebentar. Dari laptopku bunyi notifikasi tanda surel masuk berdenting berkali-kali.
Aku membuka 'Kotak Masuk'. Ada dua puluh enam balasan dari berbagai media.
Aku buka yang teratas, dari media lokal. "Naskah Anda dimuat di media kami...."
Kemudian yang kedua, dari buletin alumni. "Tulisan Anda yang berjudul 'Kekasih Malam' dimuat di....."
Yang ketiga dari surat kabar nasional bertiras besar.
Sama saja.
Begitu juga dengan yang berikutnya.
Dan berikutnya.
Damn! Lagi-lagi aku gagal mewujudkan resolusi Malam Tahun Baru....
Bandung, 20 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H