Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Menumpang di Tengah Jalan

16 Desember 2021   20:55 Diperbarui: 16 Desember 2021   21:06 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu sungguh luar biasa.

Kalimat itu bergema lebih dingin dari sebelumnya. Hujan menjadi denyut nadi yang sebentar lagi sirna, meski bau aspal basah dan kerikil akan tertinggal. Pakaian basah akan kering di bawah dinginnya AC. Petir akan menyinari sesuatu.

Meskipun kebenaran akan disembunyikan.

Kami melaju ke jarak terjauh. Cahaya lampu jalan yang berpendar mengganggu berubah menjadi hitam. Kami berkendara saat hutan membuntuti jalan raya, ketika lampu depan menyorot mata yang bersinar dan membuat bayangan tegak yang membuntuti.

Kami berhenti di persimpangan yang sepi sehingga sejuta orang gila bisa mendekati mobil tanpa aba-aba. Mereka akan datang ke sisi, tempat lampu depan gagal memberi tanda apa pun. Mereka akan berdiri begitu dekat sehingga napas mereka yang berembun mengabut kaca jendela dan kamu akan bertanya-tanya, untuk sesaat, apa yang membuat kijang berani. Tidak mesti orang gila. Tidak harus hantu atau iblis.

Siapa pun akan bergidik membayangkan apa yang akan membuat orang waras menyusuri jalan ke entah di tengah malam yang diguyur hujan. Ada saat-saat malam ketika bahkan melihat sahabat karib, sendirian di jalan melintas hutan, akan membuat pucat kulit setiap orang yang berpikir logis.

Teman atau musuh, malam bersikukuh tak berujung.

Dia melemparkan uang logam yang berkilauan disinari cahaya lampu jalanan yang berpendar.

Aku terus menatap ke depan, memastikan wajahnya berubah. Sangat yakin jika aku membiarkan dia berada dalam sudut pandangku, aku akan melihat wajah yang terdistorsi. Aku akan menemukan mata seperti tinta dan bibir dari telinga ke telinga merobek kulit yang terlalu ketat.

Dia melempar uang logam berulang-ulang, menghipnotis. Namun aku tidak yakin dia menatap ke arahku. Aku tidak melihat kaca jendela yang berembun oleh hembusan napas, dan aku tidak melihat seseorang kesurupan di kursi penumpang.

Hujan turun dengan deras mendera atap mobil sejauh satu kilometer, dan aku membayangkan sesuatu yang melompat turun dari pohon atau jembatan layang, dan tergeletak dengan kepala retak. Aku bukan membayangkan kucing  atau anjing liar. Aku membayangkan sesuatu yang meliuk-liukkan tubuhnya hingga kepalanya merunduk, matanya bertengger di bagian atas jendela pengemudi. Aku membayangkan sesuatu mengintip ke dalam. Aku membayangkan dia menatapku dan aku menatapnya dan dia balas menatap. Aku terjebak di antara dua neraka tatap menatap.

Aku membayangkan dia bisa menerobos masuk, jika mau. Namun dia menyadari bahwa aku telah membiarkan sesuatu yang lebih jahat masuk. Aku membayangkan dia melihat wajahnya, mata seperti tinta dan bibir dari telinga ke telinga merobek kulit yang terlalu ketat. Dan dia menaruh kasihan untukku.

Setelah satu kilometer, aku berhenti dan memaksakan diri untuk membayangkan bahwa dia berdiri di samping pintu mobilku yang tidak terkunci. Aku memaksakan diri untuk membayangkan bahwa dia ingin luput dari perhatian dan menungguku menghilang di jalan.

Mobil lain. 

Dia akan berbisik pada dirinya sendiri. "Bukan yang itu."

Dia akan berbisik kepada orang-orang yang berdiri di dekatnya.

Jalanan tiba-tiba berbelok tajam.

Inilah tempatnya. Hamparan tanah yang panjang menopang rel kereta api dan menghalangi pandanganku dari apa pun yang terjadi di sisi lain. Bunyi ketukan uang logam yang tumpul berhenti. Pintu penumpang berderit terbuka dan, sebelum dibanting menutup, dia bicara.

Kamu sungguh luar biasa.

Sawah yang baru dibajak mengapit jalan sempit dan aku memundurkan mobil ke jalanan kerikil sempit yang memotong tanah lapang kosong. Lampu depan gagal mencapai ujungnya dan cahaya merah dari lampu mundur tidak menunjukkan adanya gerakan.

Aku membayangkan, untuk sesaat, dia baru saja pindah ke kursi belakang. Aku membayangkan jika aku melihat ke kaca spion, aku akan melihat matanya seperti tinta dan bibir dari telinga ke telinga merobek kulit yang terlalu ketat.

Aku membayangkan, ketika berhenti di persimpangan tempat aku membebaskan yang lain, dia diam-diam menyelinap keluar. 

Dan yang lainnya, bersama dengan yang lainnya, mencoba bersembunyi di hutan agar tak pernah ditemukan.

Bandung, 16 Desember 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun