Hujan turun dengan deras mendera atap mobil sejauh satu kilometer, dan aku membayangkan sesuatu yang melompat turun dari pohon atau jembatan layang, dan tergeletak dengan kepala retak. Aku bukan membayangkan kucing  atau anjing liar. Aku membayangkan sesuatu yang meliuk-liukkan tubuhnya hingga kepalanya merunduk, matanya bertengger di bagian atas jendela pengemudi. Aku membayangkan sesuatu mengintip ke dalam. Aku membayangkan dia menatapku dan aku menatapnya dan dia balas menatap. Aku terjebak di antara dua neraka tatap menatap.
Aku membayangkan dia bisa menerobos masuk, jika mau. Namun dia menyadari bahwa aku telah membiarkan sesuatu yang lebih jahat masuk. Aku membayangkan dia melihat wajahnya, mata seperti tinta dan bibir dari telinga ke telinga merobek kulit yang terlalu ketat. Dan dia menaruh kasihan untukku.
Setelah satu kilometer, aku berhenti dan memaksakan diri untuk membayangkan bahwa dia berdiri di samping pintu mobilku yang tidak terkunci. Aku memaksakan diri untuk membayangkan bahwa dia ingin luput dari perhatian dan menungguku menghilang di jalan.
Mobil lain.Â
Dia akan berbisik pada dirinya sendiri. "Bukan yang itu."
Dia akan berbisik kepada orang-orang yang berdiri di dekatnya.
Jalanan tiba-tiba berbelok tajam.
Inilah tempatnya. Hamparan tanah yang panjang menopang rel kereta api dan menghalangi pandanganku dari apa pun yang terjadi di sisi lain. Bunyi ketukan uang logam yang tumpul berhenti. Pintu penumpang berderit terbuka dan, sebelum dibanting menutup, dia bicara.
Kamu sungguh luar biasa.
Sawah yang baru dibajak mengapit jalan sempit dan aku memundurkan mobil ke jalanan kerikil sempit yang memotong tanah lapang kosong. Lampu depan gagal mencapai ujungnya dan cahaya merah dari lampu mundur tidak menunjukkan adanya gerakan.
Aku membayangkan, untuk sesaat, dia baru saja pindah ke kursi belakang. Aku membayangkan jika aku melihat ke kaca spion, aku akan melihat matanya seperti tinta dan bibir dari telinga ke telinga merobek kulit yang terlalu ketat.