Di suatu tempat di luar terdengar suara teriakan. Tubuh dengan mulut masih terbuka lebar. Wabah dan ketidakmampuan untuk merawat diri sendiri. Kematian.
Dia berpikir dengan tubuhnya terbaring di antara mayat dengan daging dan tulang yang membusuk. Dia berpikir, Dhuh Gusti, kita bisa lebih baik dari ini. Namun dia tidak punya kata-kata untuk mengatakannya, dan Simbah membungkuk, mengusap matanya yang bengkak.
Dia bernapas. tetapi udara memasuki paru-paru sepanas api, memanggang dan membakar tubuhnya seperti daging di atas kompor.
Dia merindukan laut dan suara ombak. Parangtritis. Merindukan rasa air, bahkan setetes air laut yang asin.
Simbah meneteskannya ke mulutnya, dan setetes mengalir di sisi pipinya. Teritip mengeras dan mengelupas dari daging.
Pada hari ketiga sebelas, dia duduk dan berteriak, teriakan yang bergema di benak setiap generasi yang pernah ada. Lalu dia berbaring dan tertidur.
Ketika dia terbangun, dia bukan dirinya lagi, tapi aku.
Bandung, 9 Desember 2021
Sumber ilustrasi
Disclaimer: Kisah ini sepenuhnya fiksi.Â
I.H