Malam hening. Lidahnya, giginya, dan sekarang, rasa kematian di mulutnya.
Kematian. Kematian semua orang yang pernah dia kenal. Bayi-bayi dengan teritip yang tumbuh menempel dan jatuh, meninggalkan bekas luka seperti mata ikan kering.
Dia membawakan madu dari bunga liar dan batang rerumputan manis yang dia keringkan dan bakar. Dia membawakan tulang ikan untuk Bapak dan biji cemara untuk Simbok, meroncenya menjadi kalung yang digantung pada benang yang ditarik dari selimut.
"Ojo nyesel," Simbah berkata sebelum dia pergi.
Dia baru saja menangis, dan dia mengingat seluruh detail dengan cermat, adegan yang diputar di bagian balik kelopak mata batin.
"Ojo nyesel. Dheweke mung mati sethithik."
Jangan menyesal. Ini hanya kematian kecil.
"Hanya kematian yang aku tahu, Mbah," jawabnya.
"Kehidupan sebentar, kematian segera," katanya.
"Mimi," panggil Simbah, mengulurkan jari-jarinya. Jari-jarinya seperti cangkang. Dagingnya disatukan oleh kekuatan panas hitam. Dia pikir Simbah telah melupakannya.
Dia berpikir, tetapi kemudian tidak ada hal lain untuk dipikirkan kecuali panas yang meledak dalam dirinya. Panas yang menyebar, napas pendek terengah-engah. Dan dia gemetar. Dia tahu, bahkan ketika dia tidak tahu, bahwa ini adalah gemetar pertanda. Lalu kulitnya menggelembung dan pecah.