"Bagaimana itu bisa terjadi?" kataku, berusaha terdengar seperti seorang mentor menguji asistennya, tetapi aku benci nada suaraku yang menyiratkan rasa penasaran. "Kamu mau orang-orang memohon dari bawah reruntuhan?"
"Ketika semuanya hilang, kita akan menjadi orang pertama yang memulihkan semuanya kembali seperti semula," katanya.
Dia bukan tipe orang yang suka menggunakan majas hiperbola. Orang gilalah yang dengan cepat dilontari batu ketika berbicara seperti juru selamat. Mereka yang cerdas memaparkan tentang pelaksanaan rencana seperti aku dan dia.
"Bagaimana dengan mereka yang terlanjur hancur?" Aku bertanya, seperti berbicara dengan hati nurani yang bijaksana, yang jelas-jelas tidak dipunyai oleh kami berdua.
"Apa yang harus kita lakukan dengan mereka?" dia balas bertanya dan membiarkannya menggantung di udara, menunggu jawaban dariku. Aku juga menunggu. Dia hanya membuatku berpikir dan aku benar-benar tidak memiliki solusi nyata untuk pertanyaannya. Sial, padahal aku membaca berita setiap hari! Padahal sebelah kaki ini sudah merasakan panasnya api Neraka, jika kalian tahu apa maksudku.
"Kamu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan," balasku lemah, tapi aku tahu dia sudah membuatku terpojok.
"Dan aku malas untuk menjawab pertanyaan bodoh," dia membalas dan lagi-lagi aku merasakan dadaku bagai ditusuk belati karena menyadari bahwa apa pun yang aku lakukan dalam hidup ini, dia akan selalu berada sedikit lebih tinggi di atasku, selamanya. "Apakah kamu setuju kita lanjut?"
"Ya," jawabku tanpa berpikir dua kali dan aku tahu, di lubuk hatiku, aku akan selalu mengatakan ya, tidak peduli apa yang dia minta. Apapun itu, selalu ya. Kalau orang-orang melihat kami, mereka akan memanggil kami sakit jiwa, bahkan psikopat. Dan mungkin mereka benar. Tapi salah satu dari kami melakukannya karena cinta dan itulah yang orang tidak akan pernah mengerti atau tak mau mengerti.
"Apa yang kita lakukan..." katanya, dan untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, dia tak menyelesaikan kalimatnya. Aku bisa melihat akalnya terantuk, sejelas seolah-olah dia secara fisik tersandung dan jatuh tertelungkup. Untuk pertama kalinya, aku merasa takut dengan apa yang kami lakukan. Aku belum pernah melihat keraguan dalam dirinya sebelumnya dan itu membuatnya menggigil, kulitnya yang pucat semakin pucat.
"Kita membuat ini," katanya sambil menunjuk ke layar komputer, "dan kemudian kita mengisinya dengan sampah. Kita membuatnya dengan sia-sia ketika seharusnya... seharusnya sempurna," katanya. Aku terkejut melihat air mata menggenang di matanya. Aku hanya bisa membayangkan apa yang ada di kepalanya. Melihat apa yang ada di hatinya membuatku lebih takut daripada akhir dunia sebentar lagi di ujung jari-jari kami.
"Seharusnya ini indah," katanya sambil menunjukkan ibu jarinya ke layar, mengingatkanku pada saat-saat dia meletakkan ujung jari di pipiku sebelum matahari terbit, ketika semuanya sunyi dan dunia tampak sempurna dan tenang.